Selasa, 18 Juni 2013


PENDAHULUAN
Berdasarkan produk akhir yang dihasilkan, ternak ayam dibagi menjadi dua yaitu ternak ayam pedaging yang produk akhirnya adalah daging dan ternak ayam petelur yang menghasilkan telur. Ayam pedaging yaitu ayam jantan dan betina muda yang berumur di bawah 8 minggu ketika dijual/dipanen dengan bobot tubuh tertentu, mempunyai pertumbuhan yang cepat serta mempunyai dada yang lebar dengan timbunan daging yang baik dan banyak. Dengan mempertimbangkan pertumbuhan ayam, maka terpilihlah ayam broiler sebagai ayam pedaging karena pertumbuhannya cukup mengejutkan sejak usia 1 minggu hingga 5 minggu, pada saat berusia 3 minggu saja tubuhnya sudah sangat gempal dan padat. Sementara itu ayam kampung yang berumur 8 minggu masih sangat kecil, tidak lebih dari kepalan jari orang dewasa, sedangkan ayam broiler yang berumur 6 minggu sudah sama besarnya dengan ayam kampung dewasa.
Ayam broiler merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging ayam. Sebenarnya ayam broiler ini baru populer di Indonesia sejak tahun 1980-an dimana pemegang kekuasaan mencanangkan panggalakan konsumsi daging ruminansia yang pada saat itu semakin sulit keberadaannya. Hingga kini ayam broiler telah dikenal masyarakat Indonesia dengan berbagai kelebihannya.
Dikarenakan banyaknya usaha ayam broiler di Indonesia maka semakin banyak pula penelitian yang bertujuan meningkatkan produksi pada ayam broiler. Salah satunya A. Azis, F. Manin, & Afriani dari Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat-Jambi dalam jurnal yang berjudul Penampilan Produksi Ayam Broiler yang Diberi Bacillus circulans dan Bacillus sp. Selama Periode Pemulihan Setelah Pembatasan Ransum. Dari jurnal tersebut saya mengembangkannya menjadi makalah ini.

PEMBAHASAN
Pengembangan manajemen pemberian ransum pada ayam broiler melalui pembatasan ransum dirancang untuk memperoleh produksi yang optimal dan ekonomis serta kualitas daging yang baik. Pendekatan untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan melalui pembatasan ransum di awal kehidupan ayam (Plavnik & Hurwitz, 1985; Lippen et al., 2000; Lee & Lesson, 2001; Tumova et al., 2002). Kontroversi penerapan pembatasan ransum di awal pertumbuhan ayam dengan fenomena kejadian pertumbuhan kompensasi dan penurunan akumulasi lemak dalam tubuh masih menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Beberapa laporan menyatakan bahwa pertumbuhan kompensasi dapat terjadi setelah ayam dibebaskan dari pembatasan ransum dan efisiensi penggunaan ransum dapat diperbaiki selama periode ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena tersebut tidak dapat dibuktikan (Lippen et al., 2000; Saleh et al., 2005; Suci et al., 2005; Lien et al., 2008; Khetani et al,. 2009). Kemampuan ayam mengkompensasi pertumbuhan tergantung pada aras pembatasan dan pola pertumbuhan selama periode pemulihan. Tolok ukur keberhasilan pertumbuhan kompensasi adalah tercapainya bobot badan yang sama dengan kontrol pada waktu umur panen. Kegagalan kejadian pertumbuhan kompensasi selama periode pemulihan sebagai akibat catch-up growth yang dihasilkan tidak dapat mencapai bobot badan yang sama dengan control saat umur potong. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan suatu stimulan yang dapat berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan setelah periode pembatasan ransum.
            Peranan probiotik sebagai bahan aditif pemacu pertumbuhan (growth promotor) sudah terbukti dapat digunakan. Santoso (2000) melaporkan bahwa pemberian kultur Bacillus subtilis selama periode pemulihan setelah ayam mendapat pembatasan ransum mampu merangsang catch-up growth dan dapat menghasilkan bobot badan yang sama dengan kontrol pada ayam broiler betina. Selain itu, Manin et al. (2004) melaporkan bahwa isolat bakteri Bacillus circulans dan Bacillus sp. yang diisolasi dari saluran pencernaan itik lokal kerinci memiliki potensi sebagai sumber probiotik. Pengunaan bakteri ini sebagai probiotik pada itik cukup efektif memperbaiki konversi ransum selama periode pertumbuhan (Manin et al., 2005). Namun demikinan, efektivitas penggunaan B. circulans dan Bacillus sp. sebagai pemacu pertumbuhan pada ayam broiler masih diperlukan pembuktian lebih lanjut.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pertimbangan strategi penetapan aras pembatasan ransum yang disertai dengan pemberian probiotik B. circulans dan Bacillus sp. sebagai stimulan pertumbuhan selama periode pemulihan diharapkan dapat menstimulasi pertumbuhan kompensasi dan memperbaiki konversi ransum. Tujuan penelitian A. Azis, F. Manin, & Afriani dari Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat-Jambi ini untuk mengetahui potensi pemberian probiotik B. circulans dan Bacillus sp. Selama periode pemulihan terhadap performa ayam broiler.
Ransum yang digunakan adalah ransum yang terdiri atas ransum standar starter berbentuk butiran pecah (crumble) dengan kadar protein 21% dan energi metabolis 2950 kkal/kg yang diberikan dari umur 0 sampai 21 hari, dan ransum fi nisher berbentuk pellet dengan kadar protein 19% dan energi metabolis 3100 kkal/kg yang diberikan dari umur 22 sampai 42 hari. Air minum diberikan sepanjang waktu. Pembatasan ransum dilakukan secara kuantitatif, yaitu dengan membatasi konsumsi energi (energi metabolis) yaitu sebesar 1,50 x bobot badan0,67 kkal ME/hari dan 2,25 x bobot badan 0,67 kkal ME/hari. Probiotik yang digunakan adalah bakteri B. circulans dan Bacillus sp. yang diperoleh dari hasil isolasi dari saluran pencernaan itik lokal kerinci dengan menggunakan tepung ikan dan gula sebagai media pengemban (Manin et al., 2004). Pemberian pada ayam dilakukan melalui air minum dengan konsentrasi 2,5% (109 cfu/ml) selama periode pemulihan. Waktu pembatasan ransum dilakukan selama 7 hari yang dimulai dari umur 7-14hari. Setelah ayam mendapat pembatasan ransum dari umur 7-14 hari, kemudian ayam diberi ransum ad libitum (periode pemulihan) hingga umur 42 hari. Susunan perlakuan yang dicobakan sebagai berikut: ransum diberikan ad libitum (P-0), ransum dengan pembatasan konsumsi energi 1,50 x bobot badan0,67 kkal ME/hari tanpa (P-1), atau dengan pemberian probiotik selama periode pemulihan (P-2), ransum dengan pembatasan konsumsi energi 2,25 x bobot badan0,67 kkal ME/hari tanpa (P-3) atau dengan pemberian probiotik selama periode pemulihan (P-4).
Pembatasan jumlah energi yang dikonsumsi selama periode pembatasan ransum menyebabkan jumlah ransum yang dikonsumsi lebih rendah daripada kontrol. Selama periode pemulihan, konsumsi ransum pada P-3 dan P-4 tidak berbeda dengan P-0, sedangkan pada P-1 dan P-2 lebih rendah daripada P-0. Hasil ini menunjukkan bahwa aras pembatasan pada taraf 1,5 x bobot badan 0,67 ME/hari cukup keras efeknya sehingga ayam tidak mampu meningkatkan konsumsi selama periode pemulihan. Selain itu, keadaan demikian kemungkinan juga berhubungan dengan laju pertumbuhan ayam selama periode tersebut. Ozkan et al. (2006) melaporkan bahwa konsumsi ransum pada kelompok ayam yang mendapat pembatasan ransum sebesar 1,5 x bobot badan 0,67 ME/hari lebih rendah daripada kontrol pada 2 minggu pertama periode pemulihan dari umur 11 hingga 25 hari, sedangkan pada 2 minggu terakhir (umur 25 hingga 46 hari) tidak terdapat perbedaan konsumsi ransum diantara ayam yang mendapat pembatasan dengan kontrol. Demikian juga dengan Jang et al. (2009) yang melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan konsumsi ransum pada kelompok ayam yang mendapat pembatasan ransum secara kuantitatif dan kualitatif dengan kontrol selama 3 minggu periode pemulihan. Sedangkan Mohebodini et al. (2009) melaporkan bahwa konsumsi ransum secara menyeluruh (umur 7-42 hari) pada kelompok ayam yang mendapat pembatasan ransum (1,5 x bobot badan 0,67 ME/hari) dari umur 7 hingga 14 hari lebih rendah (11,3%) daripada kontrol.
Pemberian probiotik selama periode pemulihan tidak memperlihatkan adanya gejala peningkatan konsumsi. Nahashon et al. (1993) dan Kim et al. (2003) melaporkan bahwa pemberian probiotik pada ayam cukup efektif merangsang peningkatan nafsu makan. Konsumsi ransum meningkat 5,32% dengan pemberian probiotik B. Subtilis dan L. casei dalam ransum (Tollba & Mahmoud, 2009). Namun demikian, hasil ini sejalan dengan laporan Khaksefi di & Ghoorchi (2006) bahwa pemberian probiotik B. subtilis dalam ransum pada ayam broiler tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum. Demikian juga halnya dengan pemberian probiotik multispesies dan probiotik spesifik ayam dalam air minum tidak mempengaruhi konsumsi ransum (Timmerman et al., 2006). Hasil yang sama juga dilaporkan Rowghani et al. (2007), pemberian probiotik Pediococcus acidilactici (MA185M) tidak mempengaruhi konsumsi ransum.
Pertambahan bobot badan ayam pada P-1 dan P-2 lebih rendah (P<0,05) daripada P-3, P-4 dan P-0 Selama pembatasan ransum, penurunan PBB pada P-1 dan P-2 sebesar 51,31%, sedangkan pada P-3 dan P-4 sebesar 33,03% dari bobot badan P-0. Selama periode pemulihan, PBB pada P-2, P-3 dan P-4 tidak berbeda
dengan P-0, sedangkan P-1 lebih rendah (P<0,05) dari pada P-0. Berdasarkan hasil yang diperoleh penurunan PBB pada aras pembatasan 1,5 x bobot badan 0,67 ME/hari (P-1 dan P-2) lebih besar dibandingkan dengan aras pembatasan 2,25 x bobot badan 0,67 ME/hari (P-3 dan P-4). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan laporan Ozkan et al. (2006) bahwa pembatasan ransum pada ayam broiler dari umur 5-11 hari menyebabkan penurunan bobot badan sebesar 38,90%. Penurunan PBB ayam selama periode pembatasan ransum dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain terbatasnya suplai nutrisi dan energi untuk menunjang pertumbuhan jaringan (Hornick et al., 2000), penurunan hormon tiroksin (Rajman et al., 2006), penurunan area permukaan absorbsi pada usus halus akibat perubahan permukaan enterosit dari sel-sel absorbsi di akhir periode pembatasan ransum umur 14 hari (da Silva et al., 2007; Elizabeth et al., 2008).
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan konversi ransum selama periode pembatasan ransum (umur 7 hingga 14 hari). Hal ini sebagai akibat terjadinya penurunan pertumbuhan selama periode pembatasan. Namun demikian, ada indikasi perbaikan konversi ransum selama periode pemulihan dari umur 14 hingga 28 hari. Ozkan et al. (2006) melaporkan bahwa konversi ransum pada kelompok ayam yang mendapat pembatasan lebih
baik dibandingkan dengan ayam yang diberi ransum ad libitum selama 2 minggu periode pemulihan (umur 11 hingga 25 hari), dan secara menyeluruh dari umur
5 hingga 46 hari tidak terdapat perbedaan konversi ransum diantara perlakuan pembatasan ransum dengan kontrol. Jang et al. (2009) juga melaporkan bahwa
konversi ransum pada kelompok ayam yang mendapat pembatasan ransum lebih baik dibandingkan dengan kontrol selama 3 minggu periode pemulihan (umur 15
hingga 35 hari), akan tetapi secara menyeluruh tidak terdapat perbedaan konversi ransum diantara kedua kelompok tersebut (umur 3 hingga 35 hari). Hal yang sama juga dilaporkan penelitian sebelumnya bahwa tidak terdapat perbedaan konversi ransum diantara ayam yang mendapat pembatasan ransum dengan ayam yang diberi ransum ad libitum hingga 41 atau 49 hari (Zubair & Lesson, 1994; Tumova et al., 2002; Al-Aqil et al., 2009). Kendatipun konversi ransum diantara semua perlakuan tidak berbeda, ada kecenderungan perbaikan konversi ransum pada kelompok ayam yang mendapat pembatasan ransum (P-4) dengan pemberian probiotik B. circulans dan Bacillus sp. memiliki konversi ransum yang lebih baik selama periode pemulihan. Hasil ini sejalan dengan beberapa laporan yang menggunakan probiotik B. subtilis dapat memperbaiki konversi ransum ayam broiler (Fritts et al., 2000; Khaksefi di & Ghoorchi, 2006; Toe dan Tan, 2006).
PENUTUP
Dari makalah ini dapat disimpulkan pembatasan konsumsi energi pada taraf 2,25 x bobot badan 0,67 kkal ME/hari selama 7 hari dengan pemberian probiotik B. circulans dan Bacillus sp. (P-4) selama periode pemulihan dapat menghasilkan pertumbuhan kompensasi dan bobot badan yang sama dan indeks produksi serta biaya ransum yang lebih baik daripada kontrol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut