Senin, 30 Januari 2012

drama Papa Marah-Marah...

Masa SMA masa yang mungkin paling seru dan menyenangkan. Disuatu malam di sebuah pinggiran sebah danau yang sangat dingin suhunya. Aku dan delapan temanku mengikuti pelantikan organisasi siswa PMR.
Seperti biasanya dalam sebuah kegitan perkemahan tidaklah seru kalu tidak ada yang namanya pentas seni. Walupun peserta dan panitia tidak banyak alis sedikit tapi namanya pentas seni wajib ada.
Di tengah malam yang dingin sekitar pukul 9 malaman kami mulai membuat api unggun yang sederhana tapi dapat membuat hangat udara. Telah di sepakati sore sebelumnya dengan panitia kami dibagi dalam 4 kelompok, satu kelompok terdiri dari 2 peserta yang masing-masingkelompok harus menyiapkan sebuah pertunjukan dalam pentas seni nanti. Dengan gampangnya kelompok-kelompok lain telah mempersiapkan sebuah seni yang mereka bisa. Dan yang paling mudah adalah sebuah seni suara alias menyayi. Singkat, sederhana dan bermakna begitulah arti music dan bernyanyi. Tapi apa daya untuk kelompokku.
Aku dapat kelompok dengan sahabatku bernama Comel alias Melia. Diantara kita tidak bisa menyanyi, bermain musi atupun melawak. Kami memang sering bercanda tapi buka lawakan yang dapat membuat tawa semua orang. Kami sama-sama tipe serius dan lebih suka mengikut bukan memimpin. Dalam sore itu kami berdua membicarakan acara pentas seni di api unggun untuk mala mini dari sore hingga api unggun telah dinyalakan satu idepun tak muncul dari kepala kita berdua.
Comelpun gugup dan bingung, lebih-lebih aku yang sok santai walaupun dalam pikiran bingung ga dapat ide. Karna kami satu-sayunya kelompok yang g dapat idem aka kami memilih urutan terahir dalam pementasan yang sederhana tersebut.
Lag pertama dari kelompok pertama, music kedua dari kelompok kedua, dan music dan lagudari kelompok ketiga telah terlewati. Walupun dalam keadan seperti itu ku akui aku mengikuti arus suasana. Aku tidak memikirkan beban yang aku pikirkan, sama sekali tidak memikirkan pertunjukan apa yang akan aku lalkukan. Yang kulakukan selam itu hanya bersenag-senang mengikuti irama dari pertunjukan teman-temanku. Bernyani dan tertawa melepas kepenatan yang ada, berusaha menghilangkan semua pikiran tak tenang maupun gugup yang ada.
Pertujukan teman-temanku telah usai dan kini giliran kelompokku. Tanpa persiapan atupun dan tanpa ide kami berdua tidak segera melangkah ke panggung pertunjukan. Kami masih berbisik bisik sebuah ide. Teman-teman kami pada menyoraki kami, panitia sudah menyuruh-nyuruh kami. Tapi mau bagai mana lagi kami bukan orang yang memiliki kemampuan dalam hal seni. Mungkin kalu dalam berpuisi dan bercerita bakatku belum muncul saat itu karena bakan menulisku baru muncul saat kelas dua SMA dan saat itu masih satu SMA.
Satu detik, dua detik dan sekian detik aku mendapat sebuah ide. Sebuah drama sederhana tentang pertengkaran istri dan suami. Mungkin dari tadi para penonton telah bosan dengan bernyani dan berpuisi sair-sair indah. Mungkin ini penutup yang berbeda dan tak begitu penting karena tidak ada teks yang dihafal alias ucapan sepontan dari kami berdua.
Kubisikkan ide itu pada cewek yang agak gemuk disampingku. Kubilang kita akan pura-pura jadi suami istri yang bertengkar. Aku jadi suami yang marah-marah dan dia jadi istri yang membantah. Kubilang juga kita seponan aja bicaranya seperti hal-hal yang sering kita lakukan yaitu bercanda.


Kubuka drama itu dengan member sambutan pada rekan panitia dan teman-teman semuanya. Kalau ga salah datang juga wakil kepala sekolah kita disana (seingatku karna terlalu banyak kegiatan seperti itu). Kubilang pada para penonton di sekitar api unggun kalu kami akan menampilakan dara yang berjudul “papa mara-marah”. Para penontonpun bersorak gembira, bertepuk tangan dan mungkin bertanya-tanya apa maksutnya.
Pertujukan pun mulai. Dengan sepontan aku memarahi cewek yang tak kurus itu seolah-olah dia istriku. Dia[un membalas omelanku seolah-oleh dia istri yang sangat cerewet. Persoalan dalam keluarga kecil itu adalah uang yang selau habis dan tak ada sisa untu di tabung. Satu juta daua juta??? Tidak. Aku salah mengucapkan satu milyar… hahahaaa…. Tawa penonton alias teman-temanku. Tanpa peduli teman-temanku aku pun mulai ngomel-ngomel lahi, marah mara padah temanku dan dia membalasnya.
Ku lirik teman-temanku yang jadi penonton tertawa terbahak-bahak. Dengan menutupi rasa mau dalam hati kulanjutkan aksi kami berdua. Seolah-olah rasa malu itu lenyap ditelan rasa dingin yang telah menembus tulang. Tulangku yang hanya terbuangjus kulit tanpa daging yang berlawanan dengan lawan dram ku yang sedikt tertumpuk daging dalam tubuhnya bermain drama tanpa naskah dan latian. Drama sandiwara yang ga bermutu tapi membuat semuanya cekikian tanpa jeda itu membuatkami malu tak karuan apa lagi aku yang dapat ide tersebut.
Satu menit, dua menit, tida menit dan menit-menit selanjutnya aku kehabisan ucapan. Setelah itu tanpa nada jeda koma, titik bahkan seru dan tandatanya kutup pertunjukan itu. Langsung kututup danpa menunggu temanku bicara lagi. Mungin dalam tawa mereka teman-temanku malah ketawa dengan sangat puas.
Sebuah drama pertunjukan yang tak akan pernah aku lupakan. Kenangan bersana Adji Dovan, Yuda, taris, Welinda, Binti, Karlian, Yuliatin, dan tentunya kami aku dan Melia. Ditambah para panitia seperti maba arin, mas sugeng, mba Nungki dan entah sapa lagi aku sedikit lupa sapa aja yang waktu itu jadi panita. Semua hanya tertawa seru dan bahagian kecuali aku dan melia hanya terssenyum, malu dan dejuta rasa yang sangat-sangat tidak karuan.
Tapi itulah kenagan bersama teman-temanku di bangku kelas X (sepuluh) yang tidak akan pernah aku lupakan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut