Kamis, 13 Oktober 2011

taukan anda tentang Undang-Undang Peternakan?

UNDANG-UNDANG REPLUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2009
TENTANG
PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPLUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. Bahwa hewan adalah karunia dan amanat Tuhan Yang Maha  Esa mempunyai peranan penting dalam penyediaan pangan asal hewan dan hasil hewan lainnya serta jasa bagi manusia yang pemanfaatanya perlu diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat;
b. Bahwa untuk mencapai maksut tersebut perlu di selenggarakan kesehatan heran yang melindungi  kesehatan manusia dan hewan beserta ekosistemnya sebagai persaratan terselenggaranya peternakan yang maju, berdaya saing, dan berkelanjutan, serta penyediaan pangan yang aman,sehat, utuh dan halal sehingga perlu didayagunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masarakat;
c.Bahwa dengan perkembangan  keadaan tuntutan otonomi daerah dan globalisasi, peraturan perundang-undangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang berlaku saat ini sudah tidak sesuai  lagi sebagai landasan hokum bagi penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan;

     Mengingat;
Pasal 5 ayat (1), passal 20, dan pasal 33 Undang-Undang Dasar  Replublik Indonesia tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPLUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPLUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan;
UNDANG-UNDANG TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam undang-Undang ini yang dimaksut dengan peternakan :

1.     Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit dan/atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budi daya ternak, panen, pascapenen,  pengolahan, dan pengusahaannya.
2.     Kesehatan hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan perawatan hewan , pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan, pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan,  penolakan penyakit, medic reproduksi, obat hewan dan peralatan kesehatan hewan, 
3.     Hewan adalah binatangatau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya.
4.     Hewan peliharaan adalah hewan yang kehid upannya untuk sebagian atau seluruhnya bergantung pada manusia untuk maksud tertentu.
5.     Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian.
6.     Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, air, dan/atau udara yang masih mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
7.     Sumber daya genetik adalah material tumbuhan, binatang, atau jasad renik yang mengandung unit-unit yang berfungsi sebagai pembawa sifat keturunan, baik yang bernilai aktual maupun potensial untuk menciptakan galur, rumpun, atau spesies baru.
8.     Benih hewan yang selanjutnya disebut benih adalah bahan reproduksi hewan yang dapat berupa semen, sperma, ova, telur tertunas, dan embrio.
9.     Benih jasad renik adalah mikroba yang dapat digunakan untuk kepentingan industry pakan dan/atau industri biomedik veteriner.
10. Bibit hewan yang selanjutnya disebut bibit adalah hewan yang mempunyai sifat unggul dan mewariskan serta memenuhi persyaratan tertentu untuk dikembangbiakkan.
11. Rumpun hewan yang selanjutnya disebut rumpun adalah segolongan hewan dari suatu spesies yang mempunyai ciri-ciri fenotipe yang khas dan dapat diwariskan pada keturunannya.
12. Bakalan hewan yang selanjutnya disebut bakalan adalah hewan bukan bibit yang mempunyai sifat unggul untuk dipelihara guna tujuan produksi.
13. Produk hewan adalah semua bahan yang berasal dari hewan yang masih segar dan/atau telah diolah atau diproses untuk keperluan konsumsi, farmakoseutika, pertanian, dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan manusia.
14. Peternak adalah perorangan warga Negara Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha peternakan.
15. Perusahaan peternakan adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengelola usaha peternakan dengan kriteria dan skala tertentu.
16. Usaha di bidang peternakan adalah kegiatan yang menghasilkan produk dan jasa yang menunjang usaha budi daya ternak.
17. Kastrasi adalah tindakan mencegah berfungsinya testis dengan jalan menghilangkan atau menghambat fungsinya.
18. Inseminasi buatan adalah teknik memasukkan mani atau semen ke dalam alat reproduksi ternak betina sehat untuk dapat membuahi sel telur dengan menggunakan alat inseminasi dengan tujuan agar ternak bunting.
19. Pemuliaan ternak adalah rangkaian kegiatan untuk mengubah komposisi genetik pada sekelompok ternak dari suatu rumpun atau galur guna mencapai tujuan tertentu.
20. Ternak lokal adalah ternak hasil persilangan atau introduksi dari luar yang telah dikembangbiakkan di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih yang teradaptasi pada lingkungan dan/atau manajemen setempat.
21. Usaha di bidang kesehatan hewan adalah kegiatan yang menghasilkan produk dan jasa yang menunjang upaya dalam mewujudkan kesehatan hewan.
22. Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang biak.
23. Bahan pakan adalah bahan hasil pertanian, perikanan, peternakan, atau bahan lainnya yang layak dipergunakan sebagai pakan, baik yang telah diolah maupun yang belum diolah.
24. Kawasan penggembalaan umum adalah lahan Negara atau yang disediakan Pemerintah atau yang dihibahkan oleh perseorangan atau perusahaan yang diperuntukkan bagi penggembalaan ternak masyarakat skala kecil sehingga ternak dapat leluasa berkembang biak.
25. Setiap orang adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang berbadan hokum maupun yang tidak berbadan hukum, yang melakukan kegiatan di bidang peternakan dan kesehatan hewan.
26. Veteriner adalah segala urusan yang berkaitan dengan hewan dan penyakit hewan.
27. Medik veteriner adalah penyelenggaraan kegiatan praktik kedokteran hewan.
28. Otoritas veteriner adalah kelembagaan Pemerintah dan/atau kelembagaan yang dibentuk Pemerintah dalam pengambilan keputusan tertinggi ya ng bersifat teknis kesehatan hewan dengan melibatkan keprofesionalan dokter hewan dan dengan mengerahkan semua lini kemampuan profesi mulai dari mengindentifikasikan masalah, menentukan kebijakan, mengoordinasikan pelaksana kebijakan, sampai dengan mengendalikan teknis operasional di lapangan.
29. Dokter hewan adalah orang yang memiliki profesi di bidang kedokteran hewan, sertifikat kompetensi, dan kewenangan medik veteriner dalam melaksanakan pelayanan kesehatan hewan.
30. Dokter hewan berwenang adalah dokter hewan yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati atau walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan jangkauan tugas pelayanannya dalam rangka penyelenggaraan kesehatan hewan.
31. Medik reproduksi adalah penerapan medik veteriner dalam penyelenggaraan kesehatan hewan di bidang reproduksi hewan.
32. Medik konservasi adalah penerapan medik veteriner dalam penyelenggaraan kesehatan hewan di bidang konservasi satwa liar.
33. Biomedik adalah penyelenggaraan medik veteriner di bidang biologi farmasi, pengembangan sains kedokteran, atau industri biologi untuk kesehatan dan kesejahteraan manusia.
34. Penyakit hewan adalah gangguan kesehatan pada hewan yang antara lain, disebabkan oleh cacat genetik, proses degeneratif, gangguan metabolisme, trauma, keracunan, infestasi parasit, dan infeksi mikroorganisme pathogen seperti virus, bakteri, cendawan, dan ricketsia.
35. Penyakit hewan menular adalah penyakit yang ditularkan antara hewan dan hewan; hewan dan manusia; serta hewan dan media pembawa penyakit hewan lainnya melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan media perantara mekanis seperti air, udara, tanah, pakan, peralatan, dan manusia; atau dengan media perantara biologis seperti virus, bakteri, amuba, atau jamur.
36. Penyakit hewan strategis adalah penyakit hewan yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi, keresahan masyarakat, dan/atau kematian hewan yang tinggi.
37. Zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia atau sebaliknya.
38. Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kesehatan manusia.
39. Obat hewan adalah sediaan yang dapat digunakan untuk mengobati hewan, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh yang meliputi sediaan biologik, farmakoseutika, premiks, dan sediaan alami.
40. Alat dan mesin peternakan adalah semua peralatan yang digunakan berkaitan dengan kegiatan peternakan dan kesehatan hewan, baik yang dioperasikan dengan motor penggerak maupun tanpa motor penggerak.
41. Alat dan mesin kesehatan hewan adalah peralatan kedokteran hewan yang disiapkan dan digunakan untuk hewan sebagai alat bantu dalam pelayanan kesehatan hewan.
42. Kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia.
43. Tenaga kesehatan hewan adalah orang yang menjalankan aktivitas di bidang kesehatan hewan berdasarkan kompetensi dan kewenangan medik veteriner yang hierarkis sesuai dengan pendidikan formal dan/atau pelatihan kesehatan hewan bersertifikat.
44. Teknologi kesehatan hewan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pengembangan dan penerapan ilmu, teknik, rekayasa, dan industri di bidang kesehatan hewan.
45. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
46. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peternakan dan kesehatan hewan.
47. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
48. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
49. Sistem kesehatan hewan nasional yang selanjutnya disebut Siskeswanas adalah tatanan unsur kesehatan hewan yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk totalitas yang berlaku secara nasional.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2

(1)  Peternakan dan kesehatan hewan dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilaksanakan secara tersendiri dan/atau melalui integrasi dengan budi daya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, kehutanan, atau bidang lainnya yang terkait.
(2)  Penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan berasaskan kemanfaatan dan keberlanjutan, keamanan dan kesehatan, kerakyatan dan keadilan, keterbukaan dan keterpaduan, kemandirian, kemitraan, dan keprofesionalan.

Pasal 3
Pengaturan penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan bertujuan untuk:
a.      mengelola sumber daya hewan secara bermartabat, bertanggung jawab, dan berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
b.     mencukupi kebutuhan pangan, barang, dan jasa asal hewan secara mandiri, berdaya saing, dan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan peternak dan masyarakat menuju pencapaian ketahanan pangan nasional;
c.      melindungi, mengamankan, dan/atau menjamin wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman yang dapat mengganggu kesehatan atau kehidupan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan;
d.     mengembangkan sumber daya hewan bagi kesejahteraan peternak dan masyarakat; dan
e.      memberi kepastian hukum dan kepastian berusaha dalam bidang peternakan dan kesehatan hewan.

BAB III
SUMBER DAYA
Bagian Kesatu
Lahan

Pasal 4
Untuk menjamin kepastian terselenggaranya peternakan dan kesehatan hewan diperlukan penyediaan lahan yang memenuhi persyaratan teknis peternakan dan kesehatan hewan.

Pasal 5
(1)  Penyediaan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dimasukkan ke dalam tata ruang wilayah sesuai dengan ketentua n peraturan perundang-undangan.
(2)  Dalam hal terjadi perubahan tata ruang wilayah yang mengakibatkan perubahan peruntukan lahan peternakan dan kesehatan hewan, lahan pengganti harus disediakan terlebih dahulu di tempat lain yang sesuai dengan persyaratan peternakan dan kesehatan hewan dan agroekosistem.
(3)  Ketentuan mengenai perubahan tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan bagi lahan peternakan dan kesehatan hewan untuk kegiatan pendidikan dan/ atau penelitian dan pengembangan.

Pasal 6
(1)  Lahan yang telah ditetapkan sebagai kawasan penggembalaan umum harus dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara berkelanjutan.
(2)  Kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai:
a.      penghasil tumbuhan pakan;
b.     tempat perkawinan alami, seleksi, kastrasi, dan pelayanan inseminasi buatan;
c.      tempat pelayanan kesehatan hewan; dan/atau
d.     tempat atau objek penelitian dan pengembangan teknologi peternakan dan kesehatan hewan.
(3)  Pemerintah daerah kabupaten/kota yang di daerahnya mempunyai persediaan lahan yang memungkinkan dan memprioritaskan budi daya ternak skala kecil diwajibkan menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum.
(4)  Pemerintah daerah kabupaten/kota membina bentuk kerja sama antara pengusahaan peternakan dan pengusahaan tanaman pangan, hortikultura, perikanan, perkebunan, dan kehutanan serta bidang lainnya dalam memanfaatkan lahan di kawasan tersebut sebagai sumber pakan ternak murah.
(5)  Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pengelolaan kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota.

Bagian Kedua
Air

Pasal 7
(1)  Air yang dipergunakan untuk kepentingan peternakan dan kesehatan hewan harus memenuhi persyaratan baku mutu air sesuai dengan peruntukannya.
(2)  Apabila ketersediaan air terbatas pada suatu waktu dan kawasan, kebutuhan air untuk hewan perlu diprioritaskan setelah kebutuhan masyarakat terpenuhi.

Bagian Ketiga
Sumber Daya Genetik

Pasal 8
(1)  Sumber daya genetik merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang dikuasai oleh Negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2)  Penguasaan Negara atas sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, atau pemerintahan daerah kabupaten/kota berdasarkan sebaran asli geografis sumber daya genetik yang bersangkutan.
(3)  Sumber daya genetik dikelola melalui kegiatan pemanfaatan dan pelestarian.
(4)  Pemanfaatan sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui pembudidayaan dan pemuliaan.
(5)  Pelestarian sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui konservasi di dalam habitatnya dan/atau di luar habitatnya serta upaya lainnya.
(6)  Pengelolaan sumber daya genetik tumbuhan pakan mengikuti peraturan perundangundangan di bidang sistem budi daya tanaman.

Pasal 9
(1)  Setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) wajib membuat perjanjian dengan pelaksana penguasaan negara atas sumber daya genetik yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).
(2)  Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan, antara lain, pembagian keuntungan dari hasil pemanfaatan sumber daya genetik yang bersangk utan dan pemberdayaan masyarakat sekitar dalam pemanfaatannya.
(3)  Pemanfaatan sumber daya genetik hewan asal satwa liar mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pasal 10
(1)   Pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, masyarakat, dan/atau korporasi.
(2)   Pemerintah wajib melindungi usaha Pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)   Pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengoptimalkan pemanfaatan keanekaragaman hayati dan pelestarian sumber daya genetik asli Indonesia.
(4)   Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap setiap orang yang melakukan pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 11
(1)   Setiap orang atau lembaga nasional yang melakukan pemasukan dan/atau pengeluaran sumber daya genetik ke dan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memperoleh izin dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi lembaga internasional yang melakukan pemasukan dan/atau pengeluaran sumber daya genetic ke dan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3)   Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga asing yang akan melakukan pemasukan dan pengeluaran sumber daya genetik, terlebih dahulu harus memiliki perjanjian dengan Pemerintah di bidang transfer material genetik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 12
(1)   Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan dan pelestarian sumber daya genetic termasuk sumber daya genetik hewan dan rekayasa genetik diatur dengan undangundang.


BAB IV
PETERNAKAN
Bagian Kesatu
Benih, Bibit, dan Bakalan

Pasal 13
(1)   Penyediaan dan pengembangan benih, bibit, dan/atau bakalan dilakukan dengan mengutamakan produksi dalam negeri dan kemampuan ekonomi kerakyatan.
(2)   Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan/ atau pembibitan dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menjamin ketersediaan benih, bibit, dan/atau bakalan.
(3)   Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan oleh masyarakat belum berkembang, Pemerintah membentuk unit pembenihan dan/atau pembibitan. Setiap benih atau bibit yang beredar wajib memiliki sertifikat layak benih atau bibit yang memuat keterangan mengenai silsilah dan ciri-ciri keunggulan tertentu.
(4)   Sertifikat layak benih atau bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi benih atau bibit yang terakreditasi atau yang ditunjuk oleh Menteri.

Pasal 14
(1)     Pemerintah menetapkan kebijakan perbibitan nasional untuk mendorong ketersediaan benih dan/atau bibit yang bersertifikat dan melakukan pengawasan dalam pengadaan dan peredarannya secara berkelanjutan.
(2)     Pemerintah membina pembentukan wilayah sumber bibit pada wilayah yang berpotensi menghasilkan suatu rumpun ternak dengan mutu dan keragaman jenis yang tinggi untuk sifat produksi dan/atau reproduksi.
(3)     Wilayah sumber bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan jenis dan rumpun ternak, agroklimat, kepadatan penduduk, sosial ekonomi, budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
(4)     Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan perbibitan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15
(1)   Dalam keadaan tertentu pemasukan benih dan/atau bibit dari luar negeri dapat dilakukan untuk:
a.      meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
b.      mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi;
c.      mengatasi kekurangan benih atau bibit di dalam negeri; dan/atau
d.     memenuhi keperluan penelitian dan pengembangan.
(2)    Pemasukan benih dan/atau bibit wajib memenuhi persyaratan mutu dan kesehatan hewan dan peraturan perundang-undangan di bidang karantina hewan serta memerhatikan kebijakan pewilayahan bibit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
(3)   Setiap orang yang melakukan pemasukan benih dan/atau bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan perdagangan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan mutu dan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 16
(1)   Pengeluaran benih, bibit, dan/atau bakalan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi dan kelestarian ternak lokal terjamin.
(2)   Setiap orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan perdagangan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri.

Pasal 17
(1)   Perbaikan kualitas benih dan/atau bibit dilakukan dengan pembentukan galur murni  dan/ atau pembentukan rumpun baru melalui persilangan dan/atau aplikasi bioteknologi modern.
(2)   Aplikasi bioteknologi modern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah agama dan tidak merugikan keanekaragaman hayati; kesehatan manusia, lingkungan, dan masyarakat; serta kesejahteraan hewan.
(3)   Aplikasi bioteknologi modern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan khusus untuk menghasilkan ternak hasil rekayasa genetik harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan peraturan perundang-undangan di bidang keamanan hayati produk rekayasa genetik.

Pasal 18
(1)   Dalam rangka mencukupi ketersediaan bibit, ternak ruminansia betina produktif diseleksi untuk pemuliaan, sedangkan ternak ruminansia betina tidak produktif disingkirkan untuk dijadikan ternak potong.
(2)   Ternak ruminansia betina produktif dilarang disembelih karena merupakan penghasil ternak yang baik, kecuali untuk keperluan penelitian, pemuliaan, atau pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan.
(3)   Pemerintah dan pemerintah daerah kabupaten/ kota menyediakan dana untuk menjaring ternak ruminansia betina produktif yang dikeluarkan oleh masyarakat dan menampung ternak tersebut pada unit pelaksana teknis di daerah untuk keperluan penangkaran dan penyediaan bibit ternak ruminansia di daerah tersebut.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penyeleksian dan penyingkiran sebagaimana pada ayat (1) dan penjaringan ternak ruminansia betina produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Pakan

Pasal 19
(1)   Setiap orang yang melakukan budi daya ternak wajib mencukupi kebutuhan pakan dan kesehatan ternaknya.
(2)   Pemerintah dan pemerintah daerah membina pelaku usaha peternakan untuk mencukupi dan memenuhi kebutuhan pakan yang baik untuk ternaknya.
(3)   Untuk memenuhi kebutuhan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah membina pengembangan industri premiks dalam negeri.

Pasal 20
(1)   Pengawasan terhadap pengadaan dan peredaran bahan pakan dan tumbuhan atau tanaman pakan yang tergolong bahan pangan dilakukan secara terkoordinasi antarinstansi atau departemen.
(2)   Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyediaan lahan untuk keperluan budi daya tanaman pakan, pengadaan pakan di dalam negeri, dan pemasukan pakan dari luar negeri.
(3)   Pengadaan dan/atau pembudidayaan tanaman pakan dilakukan melalui system pertanaman monokultur dan/atau terpadu dengan jenis tanaman lain dengan tetap mempertimbangkan ekosistem sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang sis tem budi daya tanaman.
(4)   Dalam rangka pengadaan pakan dan/atau bahan pakan yang tergolong bahan pangan, Pemerintah mengutamakan bahan baku pakan lokal.
(5)   Pengadaan dan penggunaan pakan dan/atau bahan pakan yang berasal dari organism transgenik harus memenuhi persyaratan keamanan hayati.

Pasal 21
Menteri menetapkan batas tertinggi kandungan bahan pencemar fisik, kimia, dan biologis pada pakan dan/atau bahan pakan.

Pasal 22
(1)   Setiap orang yang memproduksi pakan dan/atau bahan pakan untuk diedarkan secara komersial wajib memperoleh izin usaha.
(2)   Pakan yang dibuat untuk diedarkan secara komersial harus memenuhi standar atau persyaratan teknis minimal dan keamanan pakan serta memenuhi ketentuan cara pembuatan pakan yang baik yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(3)   Pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berlabel sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4)   Setiap orang dilarang:
a.      mengedarkan pakan yang tidak layak dikonsumsi;
b.     menggunakan dan/atau mengedarkan pakan ruminansia yang mengandung bahan pakan yang berupa darah, daging, dan/atau tulang; dan/atau
c.      menggunakan pakan yang dicampur hormone tertentu dan/atau antibiotic imbuhan pakan.
(5)    Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c ditetapkan dengan Peratur an Menteri.

Pasal 23
Setiap pakan dan/atau bahan pakan yang dimasukkan dari luar negeri atau dikeluarkan dari dalam negeri harus memenuhi ketentuan persyaratan teknis kesehatan hewan dan peraturan perundang-undangan di bidang karantina.

Bagian Ketiga
Alat dan Mesin Peternakan

Pasal 24
(1)   Pemerintah menetapkan jenis dan standar alat dan mesin peternakan yang peredarannya perlu diawasi.
(2)   Alat dan mesin peternakan yang diproduksi dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus mengutamakan keselamatan dan keamanan pemakainya.
(3)   Alat dan mesin peternakan yang diproduksi dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang peredarannya perlu diawasi wajib diuji sebelum diedarkan.

Pasal 25
(1)   Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan alat dan mesin peternakan dari luar negeri untuk diedarkan wajib menyediakan suku cadang.
(2)   Pemerintah membina dan memfasilitasi berkembangnya industri alat dan mesin peternakan dalam negeri.
(3)   Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengadaan dan peredaran alat dan mesin peternakan.
(4)   Alat dan mesin peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan mengandung suku cadang lokal dan melibatkan masyarakat dala m alih teknologi.

Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai alat dan mesin peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Budi Daya

Pasal 27
(1)   Budi daya merupakan usaha untuk menghasilkan hewan peliharaan dan produk hewan.
(2)   Pengembangan budi daya dapat dilakukan dalam suatu kawasan budi daya sesuai dengan ketentuan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(3)   Penetapan suatu kawasan budi daya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur berdasarkan Peraturan Menteri dengan berpedoman pada peraturan perundangundangan di bidang penataan ruang.
(4)   Pelaksanaan budi daya dengan memanfaatkan satwa liar dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pasal 28

(1)   Pemerintah menetapkan hewan hasil budi daya yang memanfaatkan satwa liar sebagai ternak sepanjang populasinya telah mengalami kestabilan genetik tanpa bergantung lagi pada populasi jenis tersebut di habitat alam.
(2)   Satwa liar baik dari habitat alam maupun hasil penangkaran dapat dimanfaatkan di dalam budi daya untuk menghasilkan hewan peliharaan sepanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan tentang konservasi satwa liar.
(3)   Satwa liar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak termasuk satwa liar yang seluruh dan/atau sebagian daur hidupnya berada di air.

Pasal 29
(1)   Budi daya ternak hanya dapat dilakukan oleh peternak, perusahaan peternakan, serta pihak tertentu untuk kepentingan khusus.
(2)   Peternak yang melakukan budi daya ternak dengan jenis dan jumlah ternak di bawah skala usaha tertentu diberikan tanda daftar usaha peternakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.
(3)   Perusahaan peternakan yang melakukan budi daya ternak dengan jenis dan jumlah ternak di atas skala usaha tertentu wajib memiliki izin usaha peternakan dari pemerintah daerah kabupaten / kota.
(4)   Peternak, perusahaan peternakan, dan pihak tertentu yang mengusahakan ternak dengan skala usaha tertentu wajib mengikuti tata cara budi daya ternak yang baik dengan tidak mengganggu ketertiban umum sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
(5)   Pemerintah berkewajiban untuk melindungi usaha peternakan dalam negeri dari persaingan tidak sehat di antara pelaku pasar.

Pasal 30
(1)   Budi daya hanya dapat diselenggarakan oleh perorangan warga Negara Indonesia atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum Indonesia.
(2)   Perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerja sama dengan pihak asing sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.

Pasal 31
(1)   Peternak dapat melakukan kemitraan usaha di bidang budi daya ternak berdasarkan perjanjian yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan serta berkeadilan.
(2)   Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan:
a.      antarpeternak;
b.     antara peternak dan perusahaan peternakan;
c.      antara peternak dan perusahaan di bidang lain; dan
d.     antara perusahaan peternakan dan Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(3)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memerhatikan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang kemitraan usaha.

Pasal 32
(1)   Pemerintah dan pemerintah daerah mengupayakan agar sebanyak mungkin warga masyarakat menyelenggarakan budi daya ternak.
(2)   Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi dan membina pengembangan budi daya yang dilakukan oleh peternak dan pihak tertentu yang mempunyai kepentingan khusus.
(3)   Pemerintah dan pemerintah daerah membina dan memberikan fasilitas untuk pertumbuhan dan perkembangan koperasi dan badan usaha di bidang peternakan.

Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 32 diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Kelima
Panen, Pascapanen, Pemasaran, dan
Industri Pengolahan Hasil Peternakan

Pasal 34
(1)   Peternak dan perusahaan peternakan melakukan tata cara panen yang baik untuk mendapatkan hasil produksi dengan jumlah dan mutu yang tinggi.
(2)   Pelaksanaan panen hasil budi daya harus mengikuti syarat kesehatan hewan, keamanan hayati, dan kaidah agama, etika, serta estetika.

Pasal 35
(1)   Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pengembangan unit pascapanen produk hewan skala kecil dan menengah.
(2)   Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi berkembangnya unit usaha pascapanen yang memanfaatkan produk hewan sebagai bahan baku pangan, pakan, farmasi, dan industri.

Pasal 36
(1)   Pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan pemasaran hewan atau ternak dan produk hewan di dalam negeri maupun ke luar negeri.
(2)   Pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan untuk membina peningkatan produksi dan konsumsi protein hewani dalam mewujudkan ketersediaan pangan bergizi seimbang bagi masyarakat dengan tetap meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha peternakan.
(3)   Pengeluaran hewan atau ternak dan produk hewan ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.
(4)   Pemasukan hewan atau ternak dan produk hewan dari luar negeri dilakukan apabila produksi dan pasokan hewan atau ternak dan produk hewan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.
(5)   Pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim usaha yang sehat bagi hewan atau ternak dan produk hewan.

Pasal 37
(1)   Pemerintah membina dan memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan produk hewan dengan mengutamakan penggunaan bahan baku dari dalam negeri.
(2)   Pemerintah membina terselenggaranya kemitraan yang sehat antara industry pengolahan dan peternak dan/atau koperasi yang menghasilkan produk hewan yang digunakan sebagai bahan baku industri.
(3)   Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang industri, kecuali untuk hal- hal yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 38
Ketentuan lebih lanjut mengenai panen, pascapanen, pemasaran, dan industri pengolahan hasil peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 37, kecuali yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang industri, diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB V
KESEHATAN HEWAN
Bagian Kesatu
Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan

Pasal 39
(1)   Pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan dalam bentuk pengamatan dan pengidentifikasian, pencegahan, pengamanan, pemberantasan, dan/atau pengobatan.
(2)   Urusan kesehatan hewan dilakukan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
(3)   Dalam rangka mengefektifkan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melalui berbagai pendekatan dalam urusan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah mengembangkan kebijakan kesehatan hewan nasional untuk menjamin keterpaduan dan kesinambungan penyelenggaraan kesehatan hewan di berbagai lingkungan ekosistem.

Pasal 40
(1)   Pengamatan dan pengidentifikasian penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dilakukan melalui kegiatan surveilans dan pemetaan, penyidikan dan peringatan dini, pemeriksaan dan pengujian, serta pelaporan.
(2)   Menteri menetapkan jenis penyakit hewan, peta dan status situasi penyakit hewan, serta penyakit eksotik yang mengancam kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan berdasarkan hasil pengamatan dan pengidentifikasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)   Pengamatan dan pengidentifikasian penyakit hewan dilakukan oleh laboratorium veteriner yang terakreditasi.
(4)   Dalam hal laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum ada, Menteri menetapkan laboratorium untuk melakukan pengamatan dan pengidentifikasian penyakit hewan.
(5)   Menteri menetapkan pedoman pengamatan dan pengidentifikasian penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 41
Pencegahan penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang karantina hewan.

Pasal 42
(1)   Pengamanan terhadap penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dilaksanakan melalui:
a.      penetapan penyakit hewan menular strategis;
b.     penetapan kawasan pengamanan penyakit hewan;
c.      penerapan prosedur biosafety dan biosecurity;
d.     pengebalan hewan;
e.      pengawasan lalu lintas hewan, produk hewan, dan media pembawa penyakit hewan lainnya di luar wilayah kerja karantina;
f.       pelaksanaan kesiagaan darurat veteriner; dan/atau
g.     penerapan kewaspadaan dini.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan terhadap penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
(3)   Dalam rangka pengamanan terhadap penyakit hewan pada sentra-sentra hewa produktif dan/atau satwa liar, Menteri menetapkan kawasan pengamanan bebas penyakit hewan.
(4)   Pemerintah membangun dan mengelola sistem informasi veteriner dalam rangka terselenggaranya pengawasan dan tersedianya data dan informasi penyakit hewan.
(5)   Setiap orang yang melakukan pemasukan dan/atau pengeluaran hewan, produk hewan, dan/atau media pembawa penyakit wajib memenuhi persyaratan teknis kesehatan hewan.
(6)   Menteri menetapkan manajemen kesiagaan darurat veteriner untuk mengantisipasi terjadinya penyakit hewan menular terutama penyakit eksotik.

Pasal 43
(1)   Menteri menetapkan jenis penyakit hewan menular strategis dalam rangka pengamanan terhadap penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a.
(2)   Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengamanan terhadap penyakit hewan menular strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)   Pengamanan terhadap jenis penyakit hewan selain penyakit hewan menular strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh masyarakat.
(4)   Setiap orang yang memelihara dan/ atau mengusahakan hewan wajib melakukan pengamanan terhadap penyakit hewan menular strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 44
(1)   Pemberantasan penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 meliputi penutupan daerah, pembatasan lalu lintas hewan, pengebalan hewan, pengisolasian hewan sakit atau terduga sakit, penanganan hewan sakit, pemusnahan bangkai, pengeradikasian penyakit hewan, dan pendepopulasian hewan.
(2)   Pendepopulasian hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memerhatikan status konservasi hewan dan/atau status mutu genetik hewan.
(3)   Pemerintah tidak memberikan kompensasi kepada setiap orang atas tindakan depopulasi terhadap hewannya yang positif terjangkit penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)   Pemerintah memberikan kompensasi bagi hewan sehat yang berdasarkan pedoman pemberantasan wabah penyakit hewan harus didepopulasi.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberantasan penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 45
(1)   Setiap orang, termasuk peternak, pemilik hewan, dan perusahaan peternakan yang berusaha di bidang peternakan yang mengetahui terjadinya penyakit hewan menular wajib melaporkan kejadian tersebut kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau dokter hewan berwenang setempat.
(2)   Menteri menetapkan status daerah sebagai daerah tertular, daerah terduga, dan daerah bebas penyakit hewan menular, serta pedoman pemberantasannya.
(3)   Pemerintah daerah provinsi mengawasi penerapan pedoman pemberantasan penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)   Pemerintah daerah kabupaten/kota melaksanakan pedoman pemberantasan penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 46
(1)   Menteri menyatakan dan mengumumkan kepada masyarakat luas kejadian wabah penyakit hewan menular di suatu wilayah berdasarkan laporan gubernur dan/atau bupati/walikota setelah memperoleh hasil investigasi laboratorium veteriner dari pejabat otoritas veteriner di wilayah setempat.
(2)   Dalam hal suatu wilayah dinyatakan sebagai daerah wabah, pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten atau kota wajib menutup daerah tertular, melakukan pengamanan, pemberantasan, dan pengobatan hewan, serta pengalokasian dana yang memadai di samping dana Pemerintah.
(3)   Dalam hal wabah penyakit hewan menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyakit hewan menular eksotik, tindakan pemusnahan harus dilakukan terhadap seluruh hewan yang tertular dengan memerhatikan status konservasi hewan yang bersangkutan.
(4)   Tindakan pemusnahan hewan langka dan/atau yang dilindungi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(5)   Setiap orang dilarang mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan, dan/atau media yang dimungkinkan membawa penyakit hewan lainnya dari daerah tertular dan/ atau terduga ke daerah bebas.
(6)   Ketentuan pemberantasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pemusnaan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan bagi bibit ternak yang diproduksi oleh perusahaan peternakan di bidang pembibitan yang dinyatakan bebas oleh otoritas veteriner.
(7)   Pernyataan bebas penyakit menular pada perusahaan peternakan di bidang pembibitan oleh otoritas veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 47
(1)   Pengobatan hewan menjadi tanggung jawab pemilik hewan, peternak, atau perusahaan peternakan, baik sendiri maupun dengan bantuan tenaga kesehatan hewan.
(2)   Pengobatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menggunakan obat keras dan/atau obat yang diberikan secara parenteral harus dilakukan di bawah pengawasan dokter hewan.
(3)   Hewan atau kelompok hewan yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan berdasarkan visum dokter hewan harus dieutanasia dan/atau dimusnahkan oleh tenaga kesehatan hewan dengan memerhatikan ketentuan kesejahteraan hewan.
(4)   Hewan atau kelompok hewan yang menderita penyakit menular dan tidak dapat disembuhkan berdasarkan visum dokter hewan berwenang serta membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan harus dimusnahkan atas permintaan pemilik hewan, peternak, perusahaan peternakan, Pemerintah, dan/atau Pemerintah Daerah.
(5)   Pemerintah tidak memberikan kompensasi bagi hewan yang berdasarkan pedoman pemberantasan wabah penyakit hewan harus dimusnahkan.
(6)   Pengeutanasiaan atau pemusnahan hewan atau kelompok hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan oleh dokter hewan dan/atau tenaga kesehatan hewan di bawah pengawasan dokter hewan dengan memerhatikan ketentuan kesejahteraan hewan.

Pasal 48
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamatan, pengamanan, pemberantasan penyakit hewan, pengobatan, maupun persyaratan teknis kesehatan hewan, termasuk pemberian kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 47 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Obat Hewan

Pasal 49
(1)   Berdasarkan sediaannya, obat hewan dapat digolongkan ke dalam sediaan biologik, farmakoseutika, premiks, dan obat alami.
(2)   Berdasarkan tingkat bahaya dalam pemakaian dan akibatnya, obat hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan menjadi obat keras, obat bebas terbatas, dan obat bebas.
(3)   Untuk menjamin ketersediaan dan keberlanjutan sediaan biologik, biang isolat local disimpan di laboratorium dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan veteriner.
(4)   Untuk menjamin ketersediaan dan keberlanjutan sediaan premiks dalam pengembangan peternakan skala kecil dan menengah, Pemerintah memfasilitasi distribusi sediaan premiks dalam negeri.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai distribusi sediaan premiks sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 50
(1)   Obat hewan yang dibuat dan disediakan dengan maksud untuk diedarkan harus memiliki nomor pendaftaran.
(2)   Untuk memperoleh nomor pendaftaran, setiap obat hewan harus didaftarkan, dinilai, diuji, dan diberikan sertifikat mutu setelah lulus penilaian dan pengujian.
(3)   Pembuatan, penyediaan, peredaran, dan pengujian obat hewan harus dilakukan di bawah pengawasan otoritas veteriner.
(4)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan atas pembuatan, penyediaan, dan peredaran obat hewan.

Pasal 51
(1)   Obat keras yang digunakan untuk pengamanan penyakit hewan dan/atau pengobatan hewan sakit hanya dapat diperoleh dengan resep dokter hewan.
(2)   Pemakaian obat keras harus dilakukan oleh dokter hewan atau tenaga kesehatan hewan di bawah pengawasan dokter hewan.
(3)   Setiap orang dilarang menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai larangan menggunakan obat hewan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 52
(1)   Setiap orang yang berusaha di bidang pembuatan, penyediaan, dan/atau peredaran obat hewan wajib memiliki izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2)   Setiap orang dilarang membuat, menyediakan, dan/atau mengedarkan obat hewan yang:
a.      berupa sediaan biologik yang penyakitnya tidak ada di Indonesia;
b.     tidak memiliki nomor pendaftaran;
c.      tidak diberi label dan tanda; dan
d.     tidak memenuhi standar mutu.

Pasal 53
(1)   Pembuatan sediaan biologik yang penyakitnya tidak ada di Indonesia yang bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional dan membantu pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan di negara lain wajib memenuhi persyaratan keamanan hayati yang tinggi.
(2)   Pembuatan sediaan biologik yang biang isolatnya tidak ada di Indonesia yang bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional dan membantu pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan di negara lain wajib memenuhi persyaratan keamanan hayati yang tinggi.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuatan sediaan biologik yang penyakit dan/atau biang isolatnya tidak ada di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 54
(1)   Penyediaan obat hewan dilakukan dengan mengutamakan produksi dalam negeri.
(2)   Dalam hal obat hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat diproduksi atau belum mencukupi kebutuhan dalam negeri, penyediaannya dapat dipenuhi melalui produk luar negeri.
(3)   Pemasukan obat hewan untuk diedarkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus memenuhi persyaratan peredaran obat hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dan peraturan perundang- undangan di bidang karantina.
(4)   Pengeluaran obat hewan produksi dalam negeri ke luar negeri harus mengutamakan kepentingan nasional.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan dan pengeluaran dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Alat dan Mesin Kesehatan Hewan

Pasal 55
(1)   Pemerintah menetapkan jenis dan standar mutu alat dan mesin kesehatan hewan yang pengadaan dan peredarannya perlu dilakukan pengawasan.
(2)   Alat dan mesin kesehatan hewan yang dibuat atau dimasukkan untuk diedarkan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memenuhi standar mutu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)   Setiap orang yang membuat, memasukkan, dan mengedarkan alat dan mesin kesehatan hewan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan pelayanan purnajual dan alih teknologi.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai alat dan mesin kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN
KESEJAHTERAAN HEWAN
Bagian kesatu
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Pasal 56
Kesehatan masyarakat veteriner merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dalam bentuk:
a.      pengendalian dan penanggulangan zoonosis;
b.      penjaminan keamanan, kesehatan, keutuhan, dan kehalalan produk hewan;
c.       penjaminan higiene dan sanitasi;
d.      pengembangan kedokteran perbandingan; dan
e.       penanganan bencana.

Pasal 57
(1)   Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan kesehatan menetapkan jenis zoonosis yang memerlukan prioritas pengendalian dan penanggulangan.
(2)   Pengendalian dan penanggulangan zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara mutatis mutandis mengikuti ketentuan dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 47.
(3)   Di samping ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengendalian dan penanggulangan zoonosis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara terkoordinasi dengan menteri terkait.

Pasal 58
(1)   Dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan.
(2)   Pengawasan dan pemeriksaan produk hewan berturut-turut dilakukan di tempat produksi, pada waktu pemotongan, penampungan, dan pengumpulan, pada waktu dalam keadaan segar, sebelum pengawetan, dan pada waktu peredaran setelah pengawetan.
(3)   Standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan dilakukan terhadap produk hewan yang diproduksi di dan/ atau dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan dan/atau dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4)   Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal.
(5)   Produk hewan yang dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal jika dipersyaratkan oleh Negara pengimpor.
(6)   Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
(7)   Untuk pangan olahan asal hewan, selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pangan.

Pasal 59
(1)   Setiap orang yang akan memasukkan produk hewan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memperoleh izin pemasukan dari menteri yang terkait di bidang perdagangan setelah memperoleh rekomendasi:
a.      untuk produk hewan segar dari Menteri; atau
b.     untuk produk hewan olahan dari pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang pengawasan obat dan makanan dan/atau Menteri.
(2)    Produk hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan.
(3)   Produk hewan olahan yang akan dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yang masih mempunyai risiko penyebaran zoonosis yang dapat mengancam kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan budi daya, harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri sebelum dikeluarkannya rekomendasi dari pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang pengawasan obat dan makanan.
(4)   Persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mengacu pada ketentuan atau kaidah internasiona l yang berbasis analisis risiko di bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner serta mengutamakan kepentingan nasional.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan kedalam wilayah Negara Kesatuan Repub lik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 60
(1)  Setiap orang yang mempunyai unit usaha produk hewan wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh nomor control veteriner kepada pemerintah daerah provinsi berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
(2)  Pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan unit usaha yang memproduksi dan/ atau mengedarkan produk hewan yang dihasilkan oleh unit usaha skala rumah tangga yang belum memenuhi persyaratan nomor control veteriner.

Pasal 61
(1)  Pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus:
a.      dilakukan di rumah potong; dan
b.     mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan.
(2)   Dalam rangka menjamin ketenteraman batin masyarakat, pemotongan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memerhatikan kaidah agama dan unsur kepercayaan yang dianut masyarakat.
(3)  Menteri menetapkan persyaratan rumah potong dan tata cara pemotonga n hewan yang baik.
(4)  Ketentuan mengenai pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan bagi pemotongan untuk kepentingan hari besar keagamaan, upacara adat, dan pemotongan darurat.

Pasal 62
(1)  Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan teknis.
(2)  Rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan oleh setiap orang setelah memiliki izin usaha dari bupati/walikota.
(3)  Usaha rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan di bawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang pengawasan kesehatan masyarakat veteriner.

Pasal 63
(1)   Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib menyelenggarakan penjaminan higiene dan sanitasi.
(2)   Untuk mewujudkan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan:
a.      pengawasan, inspeksi, dan audit terhadap tempat produksi, rumah pemotongan hewan, tempat pemerahan, tempat penyimpanan, tempat pengolahan, dan tempat penjualan atau penjajaan serta alat dan rnesin produk hewan;
b.     surveilans terhadap residu obat hewan, cemaran mikroba, dan/atau cemaran kimia; dan
c.      pembinaan terhadap orang yang terlibat secara langsung dengan aktivitas tersebut.
(3)    Kegiatan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter hewan berwenang di bidang kesehatan masyarakat veteriner.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 64
Pemerintah dan pemerintah daerah mengantisipasi ancaman terhadap kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oleh hewan dan/atau perubahan lingkungan sebagai dampak bencana alam yang memerlukan kesiagaan dan cara penanggulangan terhadap zoonosis, masalah higiene, dan sanitasi lingkungan.

Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasah, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, dan sertifikasi produk hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1), tata cara pemasukan produk hewan olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b, penetapan negara dan/atau zona, unit usaha produk hewan, dan tata cara pemasukan produk hewan segar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2), serta kesiagaan dan cara penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 diatur dengan

Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Kesejahteraan Hewan

Pasal 66
(1)  Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan.
(2)  Ketentuan mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara manusiawi yang meliputi:
a.      penangkapan dan penanganan satwa dari habitatnya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang konservasi;
b.     penempatan dan pengandangan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga memungkinkan hewan dapat mengekspresikan perilaku alaminya;
c.      pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan;
d.     pengangkutan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa takut dan tertekan serta bebas dari penganiayaan;
e.      penggunaan dan pemanfaatan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari penganiayaan dan penyalahgunaan;
f.       pemotongan dan pembunuhan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiyaan, dan penyalahgunaan; dan
g.     perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan.
(3)  Ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kesejahteraan hewan diberlakukan bagi semua jenis hewan bertulang belakang dan sebagian dari hewan yang tidak bertulang belakang yang dapat merasa sakit.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 67
Penyelenggaraan kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama masyarakat.

BAB VII
OTORITAS VETERINER

Pasal 68
(1)  Penyelenggaraan kesehatan hewan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memerlukan otoritas veteriner.
(2)  Dalam rangka pelaksanaan otoritas veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah menetapkan Siskeswanas.
(3)  Dalam pelaksanaan Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya menetapkan dokter hewan berwenang, meningkatkan peran dan fungsi kelembagaan penyelenggaraan kesehatan hewan, serta melaksanakan koordinasi dengan memerhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan daerah.
(4)  Dalam ikut berperan serta mewujudkan kesehatan hewan dunia melalui Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada otoritas veteriner.
(5)  Otoritas veteriner bersama organisasi profesi kedokteran hewan melaksanakan Siskeswanas dengan memberdayakan potensi tenaga kesehatan hewan dan membina pelaksanaan praktik kedokteran hewan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(6)  Di samping melaksanakan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, kesehatan masyarakat veteriner, dan/atau kesejahteraan hewan, otoritas veteriner juga melakukan pelayanan kesehatan hewan, pengaturan tenaga kesehatan hewan, pelaksanaan medik reproduksi, medik konservasi, forensik veteriner, dan pengembangan kedokteran hewan perbandingan.
(7)  Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 69
(1)  Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa laboratorium veteriner, pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner, pelayanan jasa medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa di pusat kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan.
(2)  Setiap orang yang berusaha di bidang pelayanan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin usaha dari bupati/walikota.

Pasal 70
(1)  Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan hewan, Pemerintah mengatur penyediaan dan penempatan tenaga kesehatan hewan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan kebutuhan.
(2)  Tenaga kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tenaga medik veteriner, sarjana kedokteran hewan, dan tenaga paramedik veteriner.
(3)  Tenaga medik veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas dokter hewan dan dokter hewan spesialis.
(4)  Tenaga paramedik veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki diploma kesehatan hewan dan/atau ijazah sekolah kejuruan kesehatan hewan.
(5)  Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria tenaga kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 71
(1)   Tenaga medik veteriner melaksanakan segala urusan kesehatan hewan berdasarkan kompetensi medik veteriner yang diperolehnya dalam pendidikan kedokteran hewan.
(2)   Tenaga paramedik veteriner dan sarjana kedokteran hewan melaksanakan urusan kesehatan hewan yang menjadi kompetensinya dan dilakukan di bawah penyeliaan dokter hewan.
(3)   Dokter hewan spesialis dan/atau dokter hewan yang memperoleh sertifikat kompetensi dari organisasi profesi kedokteran hewan dan/atau sertifikat yang diakui oleh Pemerintah dapat melaksanakan urusan kesehatan hewan.
(4)   Dalam menjalankan urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tenaga kesehatan hewan wajib mematuhi kode etik dan memegang teguh sumpah atau janji profesinya.

Pasal 72
(1)   Tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memiliki surat izin praktik kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh bupati/walikota.
(2)   Untuk mendapatkan surat izin praktik kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tenaga kesehatan hewan yang bersangkutan mengajukan surat permohonan untuk memperoleh surat izin praktik kepada bupati/walikota disertai dengan sertifikat kompetensi dari organisasi profesi kedokteran hewan.
(3)   Tenaga asing kesehatan hewan dapat melakukan praktik pelayanan kesehatan hewan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral antara pihak Indonesia dan negara atau lembaga asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 73
(1)   Pemerintah wajib membina dan memfasilitasi terselenggaranya medik reproduksi, medik konservasi, dan forensik veteriner.
(2)   Medik reproduksi, medik konservasi, dan forensik veteriner sepanjang berkaitan dengan satwa liar dan/atau hewan yang hidup di air diselenggarakan secara terkoordinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 74
(1)   Dalam rangka meningkatkan pemanfaatan hewan sebagai hewan laboratorium dan hewan model penelitian dan/atau pemanfaatan organ hewan untuk kesejahteraan manusia diterapkan ilmu kedokteran perbandingan.
(2)   Penerapan ilmu kedokteran perbandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan:
a.      di bawah penyeliaan dokter hewan yang kompeten;
b.     berdasarkan etika hewan dan etika kedokteran hewan; dan
c.      dengan mempertimbangkan kesejahteraan hewan.

Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai tenaga kesehatan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 74 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
PEMBERDAYAAN PETERNAK DAN USAHA
DI BIDANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

Pasal 76
(1)   Pemberdayaan peternak, usaha di bidang peternakan, dan usaha di bidang kesehatan hewan dilakukan dengan memberikan kemudahan bagi kemajuan usaha di bidang peternakan dan kesehatan hewan serta peningkatan daya saing.
(2)   Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.      pengaksesan sumber pembiayaan, permodalan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta informasi;
b.     pelayanan peternakan, pelayanan kesehatan hewan, dan bantuan teknik;
c.      penghindaran pengenaan biaya yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi;
d.     pembinaan kemitraan dalam meningkatkan sinergi antarpelaku usaha;
e.      penciptaan iklim usaha yang kondusif dan/atau meningkatan kewirausahaan;
f.       pengutamaan pemanfaatan sumber daya peternakan dan kesehatan hewan dalam negeri;
g.     pemfasilitasan terbentuknya kawasan pengembangan usaha peternakan;
h.     pemfasilitasan pelaksanaan promosi dan pemasaran; dan/atau
i.       perlindungan harga dan produk hewan dari luar negeri.
(3)   Pemerintah dan pemerintah daerah bersama pemangku kepentingan di bidang peternakan dan kesehatan hewan melakukan pemberdayaan peternak guna meningkatkan kesejahteraan peternak.
(4)   Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong dan memfasilitasi pengembangan produk hewan yang ditetapkan sebagai bahan pangan pokok strategis dalam mewujudkan ketahanan pangan.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 77
(1)   Pemerintah dan pemerintah daerah melindungi peternak dari perbuatan yang mengandung unsur pemerasan oleh pihak lain untuk memperoleh pendapatan yang layak.
(2)   Pemerintah dan pemerintah daerah mencegah penyalahgunaan kebijakan di bidang permodalan dan/atau fiskal yang ditujukan untuk pemberdayaan peternak, perusahaan peternakan, dan usaha kesehatan hewan.
(3)   Pemerintah dan pemerintah daerah mencegah penyelenggaraan kemitraan usaha di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang menyebabkan terjadinya eksploitasi yang merugikan peternak dan masyarakat.

BAB IX
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

Pasal 78
(1)   Sumber daya manusia di bidang peternakan dan kesehatan hewan meliputi aparat Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku usaha, dan semua pihak yang terkait dengan bidang peternakan dan kesehatan hewan.
(2)   Sumber daya manusia di bidang peternakan dan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perlu ditingkatkan dan dikembangkan kualitasnya untuk lebih meningkatkan keterampilan, keprofesionalan, kemandirian, dedikasi, dan akhlak mulia.
(3)   Pengembangan kualitas sumber daya manusia di bidang peternakan dan kesehatan hewan dilaksanakan dengan cara:
a.      pendidikan dan pelatihan;
b.     penyuluhan; dan/atau
c.      pengembangan lainnya dengan memerhatikan kebutuhan kompetensi kerja, budaya masyarakat, serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(4)   Pemerintah dan pemerintah daerah melalui institusi pendidikan dan dunia usaha memfasilitasi dan mengembangkan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan yang berkaitan dengan penyediaan sumber daya manusia yang kompeten di bidang peternakan dan kesehatan hewan.
(5)   Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan penyuluhan peternakan dan kesehatan hewan serta mendorong dan membina peran serta masyarakat untuk melaksanakan peternakan dan kesehatan hewan yang baik.
(6)   Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan penyuluhan dan pendidikan publik di bidang peternakan dan kesehatan hewan melalui upaya peningkatan kesadaran gizi masyarakat dalam mengonsumsi produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal.
(7)   Pemerintah mengembangkan dan memfasilitasi berbagai cara pengembangan sumber daya manusia di bidang peternakan dan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(8)   Ketentuan lebih lanjut mengenai cara pengembangan kualitas sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diatur dengan Peraturan Menteri.

BABX
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Pasal 79
(1)   Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan penelitian dan pengembangan peternakan dan kesehatan hewan.
(2)   Penelitian dan pengembangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, institusi pendidikan, perorangan, lembaga swadaya masyarakat, atau dunia usaha, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama.
(3)   Pemerintah dan pemerintah daerah membina dan mengembangkan adanya kerja sama yang baik antarpenyelenggara penelitian dan pengembangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Pasal 80
(1)   Perorangan warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang melakukan penelitian dan pengembangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan wajib mendapatkan izin terlebih dahulu dari instansi pemerintah yang berwenang di bidang penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2)   Perorangan warga negara asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan penelitian harus bekerja sama dengan peneliti atau lembaga penelitian dalam negeri.

Pasal 81
Negara memberikan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual hasil aplikasi ilmu pengetahuan dan invensi teknologi di bidang peternakan dan kesehatan hewan.

Pasal 82
Penelitian dan pengembangan yang berkaitan dengan rekayasa genetik di bidang peternakan dan kesehatan hewan dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah agama; kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan; kesejahteraan hewan; serta tidak merugikan keanekaragaman hayati.

Pasal 83
Ketentuan mengenai pelaksanaan penelitian dan pengembangan serta penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang peternakan dan kesehatan hewan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XI
PENYIDIKAN

Pasal 84
(1)   Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan dari tanggung jawabnya meliputi peternakan dan kesehatan hewan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)   Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
a.      melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan;
b.     melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan;
c.      meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan;
d.     melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan;
e.      melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan; dan/atau
f.       meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan.
(3)   Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 85
(1)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 15 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 23, Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 29 ayat (3), Pasal 42 ayat (5), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 50 ayat (3), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (1), Pasal 54 ayat (3), Pasal 58 ayat (5), Pasal 59 ayat (2), Pasal 61 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 62 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 69 ayat (2), dan Pasal 72 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2)   Sanksi admistratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a.      peringatan secara tertulis;
b.     penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c.      pencabutan nomor pendaftaran dan penarikan obat hewan, pakan, alat dan mesin, atau produk hewan dari peredaran;
d.     pencabutan izin; atau
e.      pengenaan denda.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4)   Besarnya denda sebagaimana dimaksud pada huruf e dikenakan kepada setiap orang yang:
a.      menyembelih ternak ruminansia kecil betina produktif paling sedikit sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah);
b.     menyembelih ternak ruminansia besar betina produktif paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah); dan
c.      melanggar selain sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(5)   Besarnya denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditambah 1/3 (sepertiga) dari denda tersebut jika pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang berwenang atau korporasi.

BAB XIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 86
Setiap orang yang menyembelih:
a.      ternak ruminansia kecil betina produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rup iah) dan paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah); dan
b.     ternak ruminansia besar betina produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

Pasal 87
Setiap orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 88
Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan alat dan mesin tanpa mengutamakan keselamatan dan keamanan bagi pemakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dan/atau belum diuji berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 11 (sebelas) bulan dan denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 89
(1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran atas tindakan mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan, atau media pembawa penyakit hewan lainnya dari dan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (5), Pasal 58 ayat (5), dan Pasal 59 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan, atau media pembawa penyakit hewan lainnya ke dalam wilayah bebas dari wilayah tertular atau terduga tertular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5), Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 60 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).

Pasal 90
Setiap orang yang menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 91
Setiap orang yang membuat, menyediakan, dan/atau mengedarkan obat hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah).

Pasal 92
(1)Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi atau pejabat yang berwenang, pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 sampai dengan Pasal 91.
(2)Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi atau pejabat yang berwenang dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha, status badan hukum, atau status kepegawaian dari pejabat yang berwenang.

Pasal 93
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 90, dan Pasal 91 merupakan pelanggaran.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 merupakan kejahatan.

BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 94
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a.      nomor pendaftaran obat hewan, pakan, alat dan mesin peternakan dan kesehatanhewan, pangan asal hewan, dan usaha pemotongan dinyatakan tetap berlaku sampai habis masa berlakunya untuk selanjutnya di sesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya;
b.     permohonan untuk memperoleh nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud pada huruf a yang diajukan dan sedang dalam proses diselesaikan berdasarkan ketentuan peraturan pelaksanaan di bidang peternakan dan kesehatan hewan;
c.      izin usaha peternakan, izin usaha obat hewan, izin usaha pemotongan hewan, izin pelayanan kesehatan hewan, dan izin praktik dokter hewan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum dicabut dengan Undang-Undang ini; dan/atau
d.     permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada huruf c yang diajukan dan sedang dalam proses diselesaikan berdasarkan ketentuan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan dan peraturan pelaksanaannya.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 95
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 96
Ketentuan praktik kedokteran hewan dan ketentuah veteriner yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini akan diatur tersendiri dengan undang-undang.

Pasal 97
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini:
a.      Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden harus telah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan;
b.     Peraturan atau Keputusan Menteri harus telah ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan; dan
c.      Peraturan Pemerintah Daerah harus telah ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak peraturan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b ditetapkan.

Pasal 98
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini:
1.       Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 2824);
2.      Ketentuan yang mengatur kehewanan yang tercantum dalam:
a.      peninjauan kembali ketentuan mengenai pengawasan praktik dokter hewan dan kebijakan kehewanan (Herziening van de bepalingen omtrent het Veeartsnijkundige staatstoezicht en de Veeartsnijkundige politie, Staatsblad Tahun 1912 Nomor 432);
b.     desentralisasi dari wewenang pusat sesuai dengan ketentuan dalam Staatsblad Tahun 1914 Nomor 486, membuka kemungkinan pelimpahan pelaksanaan kepada tiap-tiap kepala daerah untuk penanggulangan penyakit hewan menular pada hewan ternak dan gedung yang menjadi sarang tikus (Decenstralisatie gemeenteraden. Besmettelijke ziekten. Pestgevaarlijke gebouwen. Openstejling van de mogelijkheid om aan de gemednteraden over te dragen de uitvoering van de bij de ordonnantie in Staatsblad Tahun 1914 nomor 486 vastgestelde regelen, Staatsblad Tahun 1916 Nomor 656); (cek dg Engelbrecht);
c.      perubahan dan tambahan atas tambahan pada Staatsblad Tahun 1912 nomor 432 yang mengatur tentang polisi khusus dinas kedokteran hewan (Nadere wijziging en aanvulling van het reglementen op het veeartsnijkundige staatstoezicht en de veeartsnijkundige politie in Nederlandsch-Indie (staatsblad Tahun 1912 Nomor 432), Staatsblad Tahun 1925 Nomor 163);
d.     ketentuan baru mengenai pengenalan dan pemberantasan mewabahnya rabies (Nieuwe bepalingen tervoorkeming en bestrijding van hondolsheids (rabies) in Nederlandsch Indie (Hondolsheids Ordonnantie 1926), Staatsblad Tahun 1926 Nomor 451);
e.      pelimpahan sebagian kegiatan pemerintah pusat kepada provinsi mengenai dinas kehewanan sipil dan polisi khusus kehewanan (Overdracht van een deel der overheidsbemoeienis met den burgelijke veeartsnijkundige dienst provincien, Staatsblad Tahun 1926 Nomor 569);
f.       tambahan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1926 Nomor 452 mengenai pemberantasan atau pembasmian penyakit anjing gila (rabies) (Veeartsnijkundige. Dienst. Politie. Reglementen, Staatsblad Tahun 1928 Nomor 52);
g.     untuk polisi khusus kehewanan, petunjuk mengenai pemotongan hewan, pemotongan hewan besar betina bertanduk yang tercantum dalam peraturan pemerintah tahun 1936 mengenai hewan besar betina bertanduk (Wijziging van de bepalingen inzake het slachten op doen slachten van vrouwelijk groothoornvee ("Slacht Ordonantie Vroutvelijke Groothoornvee 1936”), Staatsblad Tahun 1936 Nomor 614);
h.     perubahan terhadap peraturan mengenai campur tangan pemerintah dalam dinas kehewanan, polisi kehewanan, dan ordonansi tentang penyakit anjing gila (rabies) (Wijziging van het reglement op de veeartsnijkundige overheidsbemoeienis en de veeartsnijkundige politie en van de hondolsheid ordonnantie, Staatsblad Tahun 1936 Nomor 715);
i.       desentralisasi untuk dinas kehewanan di daerah seberang (Decentralisatie. Veeartsnijkundige dientst. Buitengewesten, Staatsblad Tahun 1937 Nomor 512); dan
j.       perubahan terhadap peraturan mengenai campur tangan pemerintah pada dinas kehewanan dan polisi kehewanan, (Wijziging van het reglement op de veeartsnijkundige overheidsbemoienis en de veeartsnijkundige politie, Staatsblad Tahun 1937 Nomor 513); dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 99
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 Juni 2009



Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 Juni 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut