Jaman dulu keris dipakai sebagai senjata tusuk/tikam oleh prajurit di tanah Jawa. Bentuknya runcing bermata dua, rata-rata berukuran panjang antara 40-50cm. Bilahnya (wilah) tertancap pada hulu yang melengkung (ukiran), dan dimasukan pada selongsongnya (wrangka) sehingga menyatu sebagai kesatuan yang bermakna filsafati, menyatunya rakyat dan para pemimpinya (manunggaling kawula gusti). Bentuknya ada yang lurus, ada yang meliuk-liuk, sebuah penggambaran sifat manusia yang jujur dan tidak jujur.
Banyak bangsa-bangsa yang memiliki senjata keris, hanya mungkin dimasing-masing negara namanya berbeda. Di Jawa banyak modelnya (gagrak, cakrik) dan biasanya terkait dengan daerah. Misalnya gagrak Surakarta, gagrag Mataraman (Yogyakarta), gagrag pesisiran (pantura-pantai utara Jawa), gagrag Medura, gagrag Bali, gagrag Sunda, dll. Di Luar Jawa pun juga banyak modelnya, misalnya dari Palembang, Riau, Sulawesi, dll. Khusus di Jawa terutama gagrag Surakarta dan Mataraman, masih dibagi menjadi dua model yaitu “branggah atau ladrang, dan gayaman”.
Keris biasa dipakai laki-laki, namun wanita (terutama di dalam keraton jaman dulu) juga memakai keris kecil yang disebut patrem, digunakan untuk membela diri jika kehormatannya terancam. Di Jawa keris mempunyai makna yang lumayan terhormat, ini dapat dilihat pada pelaksanaan upacara. Misalnya pengantin priya menggunakan keris, para orang tua pengantin (yang laki-laki) juga menggunakan keris, semua panitia yang berbusana tradisional juga menggunakan keris. Ketika, misalnya orang tua laki-laki sdh meninggal, kedudukannya dapat digantikan dengan keris. Ketika pengantin mau menghaturkan sembah, keris tidak boleh digunakan atau dilepas sementara.
Bagi priya Jawa berbusana tradisional kurang lengkap jika tidak mengenakan keris. Menggunakan keris pun bermacam-macam cara, dan masing-masing cara ada namanya sendiri-sendiri. Misalnya“Anggaran”, hanya boleh digunakan para pemimpin prajurit. “Munyuk ngilo” (kera (bercermin), digunakan orang yang sedang bepergian atau prajurit yang membawa senapan. “Andoran”, digunakan seseorang yang pergi ke tempat terhormat, misalnya ke keraton untuk menghadap raja, ke gereja, ke mesjid, ke makam para leluhur, dll. “Kewalan”, dipergunakan prajurit dalam situasi darurat.“Ngoglèng”, bisa dipergunakan sembarang orang terutama ketika ada perayaan, pesta, resepsi, dll.“Sikep”, diselipkan di depan perut miring ke kanan. Biasanya yang memakai para ulama, contohnya seperti Pangeran Diponegoro. “Sungkeman” digunakan ketika menghadiri suasana duka atau melayat.
Pembutan
Karena keris merupakan senjata tusuk/tikam mutunya harus sangat kuat, dalam arti tidak mudah bengkok, patah mapun karatan. Untuk itu memerlukan material logam terpilih agar dapat dibuat menjadi senjata yang kuat. Yang sering disebut dalam catatan, logam yang digunakan untuk membuat keris yang baik diantaranya: Ambal, Balitung, Kamboja, Karang kijang, Katub, Kenur, Malela, Mangangkang, Pulasani, Terate, Tumbuk, Tumpang, Welangi, Werani, Winduaji.
Oleh Empu (pembuat keris), tidak semua logam tersebut digunakan melainkan dipilih sesuai kebutuhan, lalu dibakar ditempa dan dilipat berulang-ulang. Suhu pembakaran mencapai 1000 derajat celcius. Pembakaran dan penempaan dimaksudkan untuk membersihkan kotoran pada logam itu umpamanya karat. Pelipatan dimaksudkan untuk menyatukan semua unsur logam yang akan dibentuk agar kuat terhadap pembebanan. Dalam penelitian, pembebanan terhadap keris yang bermutu baik, mampu melebihi kekuatan senjata tajam jenis apapun.
Pelipatan bisa mencapai puluhan kali atau ratusan kali, bahkan ribuan kali. Sekedar contoh, dalam literatur yang ada untuk keris tangguh “sedayu” mencapai 4098 kali lipatan. Sebagai pembanding keris tangguh “blambangan” (± abad 15 masehi) hanya menggunakan 8 kali lipatan. Semakin banyak lipatannya semakin kuat keris menerima pembebanan, akan tetapi logamnya juga semakin sulit ditempa karena semakin keras dan kuat. Setelah itu diselipkan logam titanium atau nikel lalu dibakar dan ditempa lagi sampai bentuknya memanjang. Logam titanium atau nikel ini yang kelak akan menjadi “pamor (hiasan)” pada bilah kerisnya. Jaman sekarang logam titanium dipakai untuk moncong pesawat atau moncong roket pendorong ke angkasa.
Bilah yang telah ditempa menjadi memanjang tersebut dinamakan kodhokan yang selanjutnya mulai dibentuk menjadi bentuk sesuai keinginan pembuatnya atau pemesannya. Proses selanjutnya keris yang sudah jadi lalu disepuh. Disepuh secara teknis adalah dibakar sampai membara lalu secara mendadak dicelupkan ke air. Proses penyepuhan ini sangat berisiko terjadi kegagalan, karena kemungkinan pelipatan itu bisa pecah, retak atau berlobang. Jika ini terjadi maka pembuatan keris itu dianggap gagal dan tidak bisa diulangi lagi. Bisa dibayangkan betapa kecewanya si pembuat maupun si pemesan keris tersebut. Biaya, tenaga dan waktu terbuang percuma.
Proses selanjutnya, setelah penyepuhan berhasil, keris lalu dicuci dan diwarangi. Diwarangi artinya dilumuri warangan atau larutan beracun. Tidak semua keris dilumuri warangan, tergantung permintaan pemesannya. Diwarangi selain agar keris itu beracun juga akan nampak pamor (hiasannya).
Menilik keris jaman kuna sudah menggunakan bahan titanium dan nikel, mengindikasikan bahwa para empu jaman dulu sudah menguasai ilmu logam dengan baik. Karena dalam berbagai catatan dan prasasti yang ditemukan, keris sudah ada sejak tahun 500 masehi. Sekarang keris dianggap sebagai benda budaya, yang perlu dijaga kelestariannya mendampingi benda budaya lainnya seperti batik, wayang dan seni tradisional lainnya.
Bentuk. Pada umumnya keris Jawa mempunyai dua bagian utama, yaitu bilahnya (wilah, curiga) dan selongsongnya (wrangka). Pada bilahnya, secara umum dibagi menjadi empat bagian utama yaitu bilah (wilah), ganja (penopang), mendhak (cincin penguat) dan hulu (ukiran-tangkai). Demikian pun pada selongsongnya dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu awak-awak (tubuhnya), gandar (pelindung bilah) dan pendhok (logam kuningan pembungkus pendhok sekaligus penghias). Pada jaman dulu bentuk keris masih sangat sederhana, namun sekarang pada dunia perkerisan bagian-bagian itu masih dirinci dengan sangat detail (njlimet).
Keris Jawa pada umumnya mempunyai dua bentuk yakni ladrang atau branggah dan gayaman. Dilihat dari sisi model (gagrag, cakrik), keris Jawa terdapat dua model daerah yaitu model Surakarta dan model Mataraman. Masing-masing mempunyai keindahan dan pesonanya sendiri-sendiri. Model ini akan terlihat jelas pada tampilan selongsongnya. Selongsong keris umumnya dibuat dari kayu pilihan semisal kayu cendana, kayu timaha, kayu kemuning, kayu jati gembol dan lain-lain.
Selain model, keris juga mempunyai dua bentuk, yaitu lurus dan lekuk/kelok (luk). Lekuk pada keris selalu ganjil, misalnya luk tiga (3), luk gangsal (5), luk pitu (7), luk sanga (9) dan seterusnya. Tidak ada keris lekuk genap. Jika ada pun berarti salah pembuatan.
Dhapur. Jika anda memasuki dunia perkerisan, anda akan sering menemui istilah dhapur. Dhapur (wajah) berarti wujud atau bentuk keris. Penamaan keris ini sudah baku (pakem). Meskipun demikian, kadang-kadang pemiliknya memberi nama sendiri sebagai penghormatan, misalnya tambahan Kyai … atau Kanjeng Kyai ….. Hal ini sering terjadi di dalam keraton.
Sekedar contoh berikut ini nama-nama dhapur keris lurus, Jamang murub, Wora-wari, Jaka tuwa, Jalak ngore, Laler mengeng, Jaka lola, Mangkurat, Kala munyeng, Panji anom, Jalak nguwuh, Pasopati, Karna tinandhing, Sinom, Kala misani, Yuyu rumpung, Brojol, dan lain-lain. Berikut nama-nama dhapur keris lekuk (luk), Mahesa nempuh, Tebu sauyun, Campur-bawur, Mahesa suka, Mayat, Kebo dhendheng, Pulanggeni, Kala nadhah, Pandhawa, Anoman, Kidang mas, Carubuk, Buta ijo, Tundhung musuh, dan masih banyak lagi.
Pamor. Selain dhapur, pembaca juga akan sering menemui istilah pamor. Pamor artinya campuran. Sederhananya pamor adalah hiasan pada bilah keris yang nampak lebih terang dari warna logam bilahnya. Hal ini berkat logam campuran yang diikutan pada penempaan saat proses pembuatan keris. Pamor inilah yang membedakan keris dengan senjata tikam lainnya. Dan pamor inilah yang membuat keris menjadi terkenal dibanding senjata tikam lainnya.
Ada tiga jenis cara pembuatan pamor. Yang pertama, pamor rekayasa. Pamor ini dirancang lebih dulu oleh Empunya atau pemesannya sebelum keris ditempa. Yang ke dua, pamor tiban. Empu pembuat keris tidak merancang apapun tentang pamor, dan hanya konsentrasi menempa dan membuat keris. Pamor yang akan muncul diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan sang penguasa. Cara yang ke tiga, pamor titipan. Oleh Empu pamor dibuat belakangan setelah bentuk kerisnya lebih dulu jadi, lalu pamor ditempelkan dan ditempa ulang. Yang paling disukai oleh pemesan adalah pamor rekayasa, karena bentuknya seperti yang diinginkan.
Yang masih ada kaitannya dengan pamor adalah sarasah, yaitu hiasan dari emas yang ditempelkan (disepuh) pada bilah keris, sehingga keris menjadi sangat indah mempesona. Banyak sekali nama pamor, sekedar contoh adalah: Beras wutah (beras tumpah), Thrithik, Udan emas (hujan emas), Sada saeler (lidi sebatang), Ujung Gunung, Lawe satukel (benang seikat), Unthuk banyu (buih air), Lintang kemukus, dan lain-lain.
Jika pembaca kebetulan berlibur ke Yogyakarta, dan melihat-lihat keris di sepanjang jalan Malioboro atau di pasar Beringharjo, jangan mengkhayal menanyakan pamor atau dhapur pada keris yang dijual, karena keris tersebut dibuat secara masal yang bilahnya hanya dari sembarang logam, sebatas bisa menancap saja. Maklum hanya sekedar buah tangan atau oleh-oleh liburan.
Pasikutan. Dalam dunia perkerisan pembaca juga akan diperkenalkan istilah pasikutan. Yang dimaksudkan adalah kesan selintas, ketika memandang bentuk keris. Kesan ini tentu saja hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah lama berkecimpung di dunia perkerisan. Bagi orang awam tentu sulit. Kesan sekilas yang muncul seperti penggambaran sosok postur manusia, seperti luwes, kaku, dhemes (manis mempesona), wingit (beribawa), kemba (hambar), prigel (cekatan), ladak (emosional), wagu (tidak serasi), dan lain sebagainya.
Ada beberapa kriteria untuk membuat penilaian seperti itu, misalnya perbandingan antara pendek dan panjangnya bilah, tebal dan tipisnya bilah, ketajaman kurva lekuk (luk), rata tidaknya jarak lekuk, tegak dan lurusnya bilah pada hulu (ukiran)nya, ketajaman ujung keris dibanding keseluruhan bilah, dan lain sebagainya. Untuk menilai pasikutan pada keris perlu jam terbang yang lama dalam mendalami dunia perkerisan.
Tangguh. Istilah lain yang tak kalah pentingnya adalah Tangguh. Yang dimaksudkan adalah gaya daerah asal atau gaya jaman pembuatan keris tersebut. Oleh karena keberadaan keris menurut literatur maupun prasasti yang ditemukan sudah ada sejak abad ke 5 masehi, maka harus ada pembagian tangguh (jaman pembuatan), agar penggemar keris mendapat informasi lebih jelas tentang siapa empu pembuatnya maupun mutu bahan-bahan yang digunakan untuk membuat keris tersebut, maupun dari daerah mana keris itu dibuat.
Berikut adalah nama-nama tangguh yang dapat dikumpulan dari berbagai literatur: Tangguh Pajajaran, Tangguh Kahuripan, Tangguh Majapahit, Tangguh Blambangan, Tangguh Madura, Tangguh Sidayu, Tangguh Sendang, Tangguh Tuban, Tangguh Demak, Tangguh Pajang, Tangguh Mataram, Tangguh Kartasura.
Sumber lain dapat membuat pengelompokan menurut jamannya, misalnya Tangguh kuna (Budha 125-1125M), Tangguh Madya kuna (1126M-1250M), Tangguh Sepuh tenggahan (1251-1459M), Tangguh tengahan 1460-1613M, Tangguh nom (1614-sekarang). Rujukan tangguh bukan hal yang pakem, karena orang Jawa pada jaman dulu belum membudaya tradisi tulis untuk mencatat sejarah.
Wrangka. Wrangka (warangka) artinya selosong keris. Wrangka dimaksudkan sebagai pelindung bilah agar tidak melukai pemiliknya atau orang lain, sama seperti belati atau pedang. Hanya bedanya karena keris mendapat tempat terhormat pada masyarakat Jawa, maka wrangka keris dibuat sangat indah, sehingga diharapkan mengangkat status sosial pemakainya.
Bahan yang digunakan dari kayu terpilih, seperti kayu cendana, kayu timaha, kayu trembalo, kayu kemuning, kayu jati gembol, dan lain-lain. Pertimbangannya adalah seratnya halus, tidak menimbulkan karat pada bilah keris, tidak mudah memuai yang menyebabkan bilah keris dapat terlepas, atau mudah mengkerut yang mengakibatkan bilah keris sulit dihunus.
Pada bagian luar wrangka masih dibungkus logam biasanya kuningan yang dinamakan pendhok. Ukiran pada pendhok inilah yang semakin mempercantik penampilan kesuluruhan keris. Pendhok tidak melulu dari logam kuningan terkadang juga perak bahkan emas. Yang mendalami dunia perkerisan, wrangka ini mempunyai nama-nama sangat rinci (njlimet) pada setiap bagiannya.
Secara umum menurut bentuk wrangka, keris dapat dibedakan bentuk ladrang atau branggah, dan bentuk gayaman. Masing-masing bentuk tersebut juga dibedakan model (gagrak) Surakarta dan model Mataraman (Yogyakarta).
Tayuh. Memasuki dunia perkerisan semakin intens ketika membicarakan tema Tayuh, karena kita akan dibenturkan pada masalah keyakinan dengan sikap rasional. Keyakinan, kita dapatkan dari cerita turun temurun oleh para nenek moyang kita, sementara cara berpikir rasional kita dapatkan dari bangku sekolah, yang pada dasarnya menuntut adanya pembuktian secara ngilmiah. Dua sikap ini tak pernah rujuk sampai kapanpun, dan kita tidak ikut-ikutan mewacanakan polemik itu. Oleh karenanya tema tayuh ini memberi peluang kepada pembaca untuk percaya maupun tidak percaya, dan semuanya mendapat penghormatan secara laik.
Tayuh, adalah keinginan pemilik atau calon pemilik untuk mengetahui apakah keris itu cocok dengan dirinya, dengan pekerjaan atau usahanya, dengan jabatannya, dengan rumah tangganya, dan lain sebagainya. Pertanyaan cocok atau tidak cocok, menempatkan keris menjadi benda hidup yang mempunyai daya yang mempengaruhi kehidupan sekelilingnya. Lalu bagaimana mengetahuinya. Ada banyak cara untuk menayuh keris, yang baris besarnya ada dua, yaitu dengan cara kebatinan, dan dengan cara mengukur panjang bilah kerisnya.
Tayuh dengan kebatinan, caranya juga bermacam-macam misalnya dengan meletakkan diatas kepala orang yang sedang tidur, meletakkan dibawah bantal, meletakkan di dekat tempat tidur, dan masih banyak cara lainnya, dengan niat sebelumnya yang diucapkan kepada kerisnya. Lalu tunggulah semalam atau beberapa malam reaksi keris lewat mimpi atau kejadian di sekeliling kehidupan anda. Mimpi atau kejadian itulah yang harus anda tafsir sendiri cocok atau tidaknya keris tersebut berdampingan dengan kehidupan anda.
Cara berikutnya adalah dengan mengukur. Ukurlah (dengan benang atau kertas) panjang bilah keris mulai pucuk hingga ujung ganjanya. Panjangnya dibagi tiga, sepertiga dibuang, yang duapertiga gunakan untuk mengukur dari ujung bilah hingga tengah bilah. Tandailah bagian tengah tersebut. Duapertiga ukuran tadi digunakan untuk mengukur lebar bagian tengah bilah keris. Ukurlah lebar bagian tengah tersebut dengan panjang duapertiga tadi, menggunakan satuan lipatan. Berapa jumlah lipatannya, kurangilah dengan 8 sisanya masih berapa.
Sisa 1 disebut Naga retna sampurna. Keris tersebut sangat bagus, cocok untuk para pemimpin, dan sangat bagus jika dibawa ke daerah berbahaya atau daerah perang.
Sisa 2 disebut Sura candra retna. Keris tersebut sangat bagus, cocok mendampingi kehidupan para busnismen, para pedagang, para petani, para nelayan dan lain sebagainya. Pengaruhnya dapat membawa keberutungan yang diinginkan.
Sisa …….. dst.
Sisa 8 disebut Sadewa binendon. Keris tersebut sangatlah buruk wataknya. Membawa kemelaratan, keluarga sering sakit, sering menemui masalah yang pelik dalam hidupnya, sering rugi jika berdagang, sering kemalingan, dan hal-hal yang buruk lainnya.
Cara menayuh berikutnya juga dengan mengukur panjang bilah keris menggunakan lebar ibu jari (jempol). Bilah yang diukur tidak termasuk ganjanya. Berapa hitungan jempol hasilnya dikurangi lima-lima, sisanya menunjukan watak keris tersebut. Misalkan hasil mengukur adalah 16 ukuran jempol. Hasil tersebut dikurangi lima-lima, sisa 1. Maknanya sebagai berikut:
Sisa 1 disebut Siti, sifatnya penyayang.
Sisa 2 disebut Sengkali, sifatnya emosional (brangasan), jika marah berbahaya.
Sisa 3 disebut Arjuna mangan ati, mudah marah, sulit mengendalikan emosi.
Sisa 4 disebut Randha tunggu donya, mudah kaya, mudah mencari rezeki.
Sisa 5 disebut Dhandhang tunggu nyawa, sering mendapat musibah, sering mendapat masalah.
Dan masih banyak lagi cara-cara menayuh yang teknisnya sangat personal dan tidak pernah dibakukan. Mudah-mudahan ada manfaatnya bagi pembaca. Semua pengetahuan tadi bersandar kepada keyakinan, bagi yang percaya kami hormati keyakinannya, sepadan juga penghormatakan kami kepada yang bersikap rasional.
Jika anda ingin memiliki keris yang baik, ada empat kriteria yang seyogyanya dipedomani, yaitutangguh, sepuh, wutuh dan tayuh. Idealnya empat itu menjadi rujukan, namun tentu saja tidak mudah mendapatkan keris yang dapat memenuhi empat kriteria tersebut.
Tangguh merujuk pada zaman pembuatan dan asal-usul keris tersebut. Dengan menelusuri pembuatannya, kita bisa mengetahui empu siapa yang membuat, riwayat kehidupan si pemilik sebelumnya (bahagia atau sengsara, patut diteladani atau tidak, dll).
Sepuh merujuk pada logam apa saja yang dipakai untuk membuat keris tersebut. Jangan sampai kita tertipu dengan rekayasa teknis, sehingga yang nampak seperti sepuh ternyata bukan.
Selain itu, keris tersebut harus wutuh, artinya tidak cacat, baik pada saat pembuatan maupun selama perjalanan hidup keris tersebut. Masa paling kritis proses pembuatan ialah ketika proses menyepuh keris, yaitu mencelubkan ke air ketika keris masih dalam keadaan panas membara. Jika tidak benar caranya, keris menjadi tidak wutuh atau cacad, bisa pecah, retak, atau berlobang. Keris demikian dianggap cacad atau tidak wutuh.
Dan yang terakhir adalah tayuh. Tayuh adalah kecocokan dengan pemiliknya.
Merawat keris. Seperti memiliki barang apapun, keris juga memerlukan perawatan, yang maksudnya agar tidak berkarat, karena keris adalah logam. Membersihkan keris disebut njamasi. Jika keris yang anda miliki tergolong langka atau berharga mahal sekali, seyogyanya njamasi dititipkan ke ahlinya. Lazimnya para ahli ini akan menjamasi keris setahun sekali secara bersama-sama pada bulan sura (bulan Jawa). Namun jika anda bermaksud menjamasi sendiri hal itu dapat dilakukan kapan saja.
Perlu dicatatat yang dijamasi hanya bilahnya saja, oleh karena itu hulunya (ukirannya) harus dilepas. Yang harus disiapkan adalah air kelapa, air jeruk nipis dan air klerak. Air kelapa tidak langsung digunakan, melainkan dibiarkan semalam agar wayu (basi). Keris direndam semalam agar minyak yang menempel di bilah keris dapat terlepas. Siapkan air klerak. Setelah itu keris dibersihkan dengan klerak dengan cara menyikat. Gunakan sikat gigi yang lembut (soft). Jangan sekali-kali menggunakan air diterjen, karena larutan kimia yang ada di diterjen dapat merusak keris. Selesai disikat dengan air klerak lalu disikat dengan air jeruk nipis. Maksudnya untuk menghilangkan sisa-sisa warangan (racun) yang menempel di bilah. Selesai disikat dengan air jeruk lalu dicuci dengan air bersih, dan terakhir diangin-anginkan agar kering. Sampai disini proses njamasi telah selesai.
Jika anda bermaksud marangi (melumuri racun) saya sarankan agar dilakukan oleh ahlinya saja, karena warangan adalah racun. Jika tidak hati-hati selain dapat merusak bilah keris, dapat juga membahayakan anda sendiri. Marangi maksudnya agar pamor (hiasan) keris nampak lebih jelas dan keindahannya dapat dinikmati.
Bilah keris dapat juga diminyaki, maksudnya agar lebih awet dan tidak mudah berkarat atau tumbuh jamurnya. Minyak yang sering digunakan adalah minyak cendana, melati, kenanga, dll. Gunakan minyak kelapa asli untuk pengencernya, bukan minyak goreng. Dengan dilumuri minyak wangi, ketika keris dihunus akan menyebar bahu harum disekelilingnya.
Penyimpanan keris sebaiknya ditempat yang tidak lembab, atau tidak terkena sinar matahari langsung. Keris yang disimpan di almari atau kotak penyimpanan mudah tumbuh jamurnya yang dapat merusak keris, baik bilahnya maupun selongsongnya. Oleh karena itu secara berkala (misalnya sebulan sekali) harus dikeluarkan dan diseka dengan kain bersih.