PENDAHULUAN
Berdasarkan produk akhir yang dihasilkan, ternak
ayam dibagi menjadi dua yaitu ternak ayam pedaging yang produk akhirnya adalah
daging dan ternak ayam petelur yang menghasilkan telur. Ayam pedaging yaitu
ayam jantan dan betina muda yang berumur di bawah 8 minggu ketika
dijual/dipanen dengan bobot tubuh tertentu, mempunyai pertumbuhan yang cepat
serta mempunyai dada yang lebar dengan timbunan daging yang baik dan banyak.
Dengan mempertimbangkan pertumbuhan ayam, maka terpilihlah ayam broiler sebagai
ayam pedaging karena pertumbuhannya cukup mengejutkan sejak usia 1 minggu
hingga 5 minggu, pada saat berusia 3 minggu saja tubuhnya sudah sangat gempal
dan padat. Sementara itu ayam kampung yang berumur 8 minggu masih sangat kecil,
tidak lebih dari kepalan jari orang dewasa, sedangkan ayam broiler yang berumur
6 minggu sudah sama besarnya dengan ayam kampung dewasa.
Ayam broiler merupakan jenis ras unggulan hasil
persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi,
terutama dalam memproduksi daging ayam. Sebenarnya ayam broiler ini baru
populer di Indonesia sejak tahun 1980-an dimana pemegang kekuasaan mencanangkan
panggalakan konsumsi daging ruminansia yang pada saat itu semakin sulit
keberadaannya. Hingga kini ayam broiler telah dikenal masyarakat Indonesia
dengan berbagai kelebihannya.
Dikarenakan banyaknya usaha ayam broiler di Indonesia
maka semakin banyak pula penelitian yang bertujuan meningkatkan produksi pada
ayam broiler. Salah satunya A. Azis, F.
Manin, & Afriani dari Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan
Universitas Jambi Kampus Pinang
Masak, Mendalo Darat-Jambi dalam jurnal yang berjudul Penampilan Produksi Ayam
Broiler yang Diberi Bacillus circulans
dan Bacillus sp. Selama
Periode Pemulihan Setelah Pembatasan Ransum. Dari jurnal tersebut saya mengembangkannya menjadi makalah ini.
PEMBAHASAN
Pengembangan manajemen pemberian ransum pada ayam
broiler melalui pembatasan ransum dirancang untuk memperoleh produksi yang
optimal dan ekonomis serta kualitas daging yang baik. Pendekatan untuk mencapai
tujuan tersebut dilakukan melalui pembatasan ransum di awal kehidupan ayam
(Plavnik & Hurwitz, 1985; Lippen et al., 2000; Lee & Lesson,
2001; Tumova et al., 2002). Kontroversi penerapan pembatasan ransum di awal
pertumbuhan ayam dengan fenomena kejadian pertumbuhan kompensasi dan penurunan
akumulasi lemak dalam tubuh masih menunjukkan hasil yang tidak konsisten.
Beberapa laporan menyatakan bahwa pertumbuhan kompensasi dapat terjadi setelah ayam
dibebaskan dari pembatasan ransum dan efisiensi penggunaan ransum dapat
diperbaiki selama periode ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena
tersebut tidak dapat dibuktikan (Lippen et al., 2000; Saleh et al.,
2005; Suci et al., 2005; Lien et al., 2008; Khetani et al,.
2009). Kemampuan ayam mengkompensasi pertumbuhan tergantung pada aras
pembatasan dan pola pertumbuhan selama periode pemulihan. Tolok ukur
keberhasilan pertumbuhan kompensasi adalah tercapainya bobot badan yang sama
dengan kontrol pada waktu umur panen. Kegagalan kejadian pertumbuhan kompensasi
selama periode pemulihan sebagai akibat catch-up growth yang dihasilkan
tidak dapat mencapai bobot badan yang sama dengan control saat umur potong.
Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan suatu stimulan yang dapat berfungsi
sebagai pemacu pertumbuhan setelah periode pembatasan ransum.
Peranan probiotik sebagai bahan
aditif pemacu pertumbuhan (growth promotor) sudah terbukti dapat digunakan.
Santoso (2000) melaporkan bahwa pemberian kultur Bacillus subtilis selama
periode pemulihan setelah ayam mendapat pembatasan ransum mampu merangsang catch-up
growth dan dapat menghasilkan bobot badan yang sama dengan kontrol pada
ayam broiler betina. Selain itu, Manin et al. (2004) melaporkan bahwa isolat
bakteri Bacillus circulans dan Bacillus sp. yang diisolasi dari
saluran pencernaan itik lokal kerinci memiliki potensi sebagai sumber
probiotik. Pengunaan bakteri ini sebagai probiotik pada itik cukup efektif
memperbaiki konversi ransum selama periode pertumbuhan (Manin et al.,
2005). Namun demikinan, efektivitas penggunaan B. circulans dan Bacillus
sp. sebagai pemacu pertumbuhan pada ayam broiler masih diperlukan
pembuktian lebih lanjut.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pertimbangan
strategi penetapan aras pembatasan ransum yang disertai dengan pemberian
probiotik B. circulans dan Bacillus sp. sebagai stimulan
pertumbuhan selama periode pemulihan diharapkan dapat menstimulasi pertumbuhan
kompensasi dan memperbaiki konversi ransum. Tujuan penelitian A. Azis, F. Manin, & Afriani dari Jurusan
Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat-Jambi ini untuk mengetahui
potensi pemberian probiotik B. circulans dan Bacillus sp. Selama periode
pemulihan terhadap performa ayam broiler.
Ransum yang digunakan adalah ransum yang terdiri
atas ransum standar starter berbentuk butiran pecah (crumble) dengan
kadar protein 21% dan energi metabolis 2950 kkal/kg yang diberikan dari umur 0
sampai 21 hari, dan ransum fi nisher berbentuk pellet dengan
kadar protein 19% dan energi metabolis 3100 kkal/kg yang diberikan dari umur 22
sampai 42 hari. Air minum diberikan sepanjang waktu. Pembatasan ransum
dilakukan secara kuantitatif, yaitu dengan membatasi konsumsi energi (energi
metabolis) yaitu sebesar 1,50 x bobot badan0,67 kkal ME/hari dan 2,25 x bobot
badan 0,67 kkal ME/hari. Probiotik yang digunakan adalah bakteri B. circulans
dan Bacillus sp. yang diperoleh dari hasil isolasi dari
saluran pencernaan itik lokal kerinci dengan menggunakan tepung ikan dan gula
sebagai media pengemban (Manin et al., 2004). Pemberian pada ayam
dilakukan melalui air minum dengan konsentrasi 2,5% (109 cfu/ml) selama periode
pemulihan. Waktu pembatasan ransum dilakukan selama 7 hari yang dimulai dari
umur 7-14hari. Setelah ayam mendapat pembatasan ransum dari umur 7-14 hari,
kemudian ayam diberi ransum ad libitum (periode pemulihan) hingga umur
42 hari. Susunan perlakuan yang dicobakan sebagai berikut: ransum diberikan ad
libitum (P-0), ransum dengan pembatasan konsumsi energi 1,50 x bobot
badan0,67 kkal ME/hari tanpa (P-1), atau dengan pemberian probiotik selama periode
pemulihan (P-2), ransum dengan pembatasan konsumsi energi 2,25 x bobot
badan0,67 kkal ME/hari tanpa (P-3) atau dengan pemberian probiotik selama periode
pemulihan (P-4).
Pembatasan jumlah energi yang dikonsumsi selama
periode pembatasan ransum menyebabkan jumlah ransum yang dikonsumsi lebih
rendah daripada kontrol. Selama periode pemulihan, konsumsi ransum pada P-3 dan
P-4 tidak berbeda dengan P-0, sedangkan pada P-1 dan P-2 lebih rendah daripada
P-0. Hasil ini menunjukkan bahwa aras pembatasan pada taraf 1,5 x bobot badan 0,67
ME/hari cukup keras efeknya sehingga ayam tidak mampu meningkatkan konsumsi
selama periode pemulihan. Selain itu, keadaan demikian kemungkinan juga
berhubungan dengan laju pertumbuhan ayam selama periode tersebut. Ozkan et
al. (2006) melaporkan bahwa konsumsi ransum pada kelompok ayam yang mendapat
pembatasan ransum sebesar 1,5 x bobot badan 0,67 ME/hari lebih rendah daripada
kontrol pada 2 minggu pertama periode pemulihan dari umur 11 hingga 25 hari,
sedangkan pada 2 minggu terakhir (umur 25 hingga 46 hari) tidak terdapat
perbedaan konsumsi ransum diantara ayam yang mendapat pembatasan dengan
kontrol. Demikian juga dengan Jang et al. (2009) yang melaporkan bahwa
tidak terdapat perbedaan konsumsi ransum pada kelompok ayam yang mendapat pembatasan
ransum secara kuantitatif dan kualitatif dengan kontrol selama 3 minggu periode
pemulihan. Sedangkan Mohebodini et al. (2009) melaporkan bahwa konsumsi
ransum secara menyeluruh (umur 7-42 hari) pada kelompok ayam yang mendapat
pembatasan ransum (1,5 x bobot badan 0,67 ME/hari) dari umur 7 hingga 14 hari
lebih rendah (11,3%) daripada kontrol.
Pemberian probiotik selama periode pemulihan tidak
memperlihatkan adanya gejala peningkatan konsumsi. Nahashon et al.
(1993) dan Kim et al. (2003) melaporkan bahwa pemberian probiotik pada
ayam cukup efektif merangsang peningkatan nafsu makan. Konsumsi ransum
meningkat 5,32% dengan pemberian probiotik B. Subtilis dan L. casei dalam
ransum (Tollba & Mahmoud, 2009). Namun demikian, hasil ini sejalan dengan
laporan Khaksefi di & Ghoorchi (2006) bahwa pemberian probiotik B.
subtilis dalam ransum pada ayam broiler tidak berpengaruh terhadap konsumsi
ransum. Demikian juga halnya dengan pemberian probiotik multispesies dan
probiotik spesifik ayam dalam air minum tidak mempengaruhi konsumsi ransum
(Timmerman et al., 2006). Hasil yang sama juga dilaporkan
Rowghani et al. (2007), pemberian probiotik Pediococcus acidilactici
(MA185M) tidak mempengaruhi konsumsi ransum.
Pertambahan bobot badan ayam pada P-1 dan P-2 lebih
rendah (P<0,05) daripada P-3, P-4 dan P-0 Selama pembatasan ransum,
penurunan PBB pada P-1 dan P-2 sebesar 51,31%, sedangkan pada P-3 dan P-4 sebesar
33,03% dari bobot badan P-0. Selama periode pemulihan, PBB pada P-2, P-3 dan
P-4 tidak berbeda
dengan
P-0, sedangkan P-1 lebih rendah (P<0,05) dari pada P-0. Berdasarkan hasil
yang diperoleh penurunan PBB pada aras pembatasan 1,5 x bobot badan 0,67 ME/hari
(P-1 dan P-2) lebih besar dibandingkan dengan aras pembatasan 2,25 x bobot
badan 0,67 ME/hari (P-3 dan P-4). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan laporan
Ozkan et al. (2006) bahwa pembatasan ransum pada ayam broiler dari umur
5-11 hari menyebabkan penurunan bobot badan sebesar 38,90%. Penurunan PBB ayam
selama periode pembatasan ransum dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain terbatasnya suplai nutrisi dan energi untuk menunjang pertumbuhan jaringan
(Hornick et al., 2000), penurunan hormon tiroksin (Rajman et al.,
2006), penurunan area permukaan absorbsi pada usus halus akibat perubahan permukaan
enterosit dari sel-sel absorbsi di akhir periode pembatasan ransum umur 14 hari
(da Silva et al., 2007; Elizabeth et al., 2008).
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa
terjadi peningkatan konversi ransum selama periode pembatasan ransum (umur 7
hingga 14 hari). Hal ini sebagai akibat terjadinya penurunan pertumbuhan selama
periode pembatasan. Namun demikian, ada indikasi perbaikan konversi ransum
selama periode pemulihan dari umur 14 hingga 28 hari. Ozkan et al.
(2006) melaporkan bahwa konversi ransum pada kelompok ayam yang mendapat
pembatasan lebih
baik
dibandingkan dengan ayam yang diberi ransum ad libitum selama 2 minggu periode
pemulihan (umur 11 hingga 25 hari), dan secara menyeluruh dari umur
5
hingga 46 hari tidak terdapat perbedaan konversi ransum diantara perlakuan
pembatasan ransum dengan kontrol. Jang et al. (2009) juga melaporkan
bahwa
konversi
ransum pada kelompok ayam yang mendapat pembatasan ransum lebih baik
dibandingkan dengan kontrol selama 3 minggu periode pemulihan (umur 15
hingga
35 hari), akan tetapi secara menyeluruh tidak terdapat perbedaan konversi
ransum diantara kedua kelompok tersebut (umur 3 hingga 35 hari). Hal yang sama
juga dilaporkan penelitian sebelumnya bahwa tidak terdapat perbedaan konversi
ransum diantara ayam yang mendapat pembatasan ransum dengan ayam yang diberi
ransum ad libitum hingga 41 atau 49 hari (Zubair & Lesson, 1994;
Tumova et al., 2002; Al-Aqil et al., 2009). Kendatipun
konversi ransum diantara semua perlakuan tidak berbeda, ada kecenderungan
perbaikan konversi ransum pada kelompok ayam yang mendapat pembatasan ransum
(P-4) dengan pemberian probiotik B. circulans dan Bacillus sp. memiliki
konversi ransum yang lebih baik selama periode pemulihan. Hasil ini sejalan
dengan beberapa laporan yang menggunakan probiotik B. subtilis dapat
memperbaiki konversi ransum ayam broiler (Fritts et al., 2000; Khaksefi
di & Ghoorchi, 2006; Toe dan Tan, 2006).
PENUTUP
Dari
makalah ini dapat disimpulkan pembatasan konsumsi energi pada taraf 2,25 x bobot
badan 0,67 kkal ME/hari selama 7 hari dengan pemberian probiotik B.
circulans dan Bacillus sp. (P-4) selama periode pemulihan dapat
menghasilkan pertumbuhan kompensasi dan bobot badan yang sama dan indeks produksi
serta biaya ransum yang lebih baik daripada kontrol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar